THE JUDICIAL POSITION OF WALI HAKIM (LEGALLY APPOINTED REPRESENTATIVE) IN MARRIAGE CONTRACT PURSUANT TO REGULATION OF THE MINISTER OF RELIGION NO. 2 OF 1987 CONCERNING WALI HAKIM (A Study Of Decision Of Jember Religious Court No. : 36/Pdt.P/2006/PA.Jr)
Abstract
Menurut Pasal 23 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam jo Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim menentukan bahwa dalam
hal wali adhol atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali
nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut. Bagi mereka
yang beragama Islam, ijin orang tua-wali merupakan syarat penting untuk sahnya
suatu perkawinan. Bila orang tua-wali nikahnya enggan atau menolak maka yang
bersangkutan yaitu mempelai wanita dapat mengajukan permohonan wali hakim
sebagai pengganti wali nasabnya yang adhol dalam pelaksanaan akad nikah.
Rumusan masalah meliputi 3 (tiga) hal, diantaranya : pertama, alasan-
alasan apa yang dapat diterima oleh Pengadilan Agama terhadap permohonan wali
hakim dalam pelaksanaan akad nikah; kedua, apa kedudukan wali hakim dalam
pelaksanaan akad nikah; dan yang ketiga, pertimbangan hukum apa yang
dipergunakan oleh Hakim dalam mengabulkan permohonan wali hakim sesuai
dengan penetapan Pengadilan Agama nomor 036/Pdt.P/2006/PA.Jr.
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengkaji tentang alasan-
alasan yang dapat diterima oleh Pengadilan Agama terhadap permohonan wali
hakim dalam pelaksanaan akad nikah; untuk mengkaji tentang kedudukan wali
hakim dalam pelaksanaan akad nikah serta untuk mengkaji pertimbangan hukum
yang dipergunakan oleh Hakim dalam mengabulkan permohonan wali hakim
sesuai dengan Penetapan Pengadilan Agama Jember nomor 36/Pdt.P/2006/PA.Jr.
Pendekatan masalah yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah dengan
menghubungkan dua pendekatan yaitu pendekatan Undang-undang (statue
approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan Undang-Undang
adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah semua Undang-Undang
dan regulasi yang bersangkutan paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
(Peter Mahmud Marzuki, 2006: 93) Sedangkan untuk pendekatan kasus (case
approach) dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang
berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan dan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal ini penulis akan
menelaah dan mengkaji penetapan Pengadilan Agama Jember nomor 36/Pdt.
P/2006/PA.Jr. (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 94)
Alasan-alasan wali nasab menolak menikahkan anak perempuannya
sebagai berikut pada kasus-kasus yang sering terjadi umumnya disebutkan karena
alasan : perbedaan status sosial antara calon istri dengan calon suami, baik dari
segi keturunan kekayaan dan pendidikan, calon isteri berasal dari keluarga
terpandang, sehingga sudah menjodohkan anak perempuannya dengan laki-laki
pilihan orang tuanya itu, dan lain sebagainya. Setelah wali hakim tersebut
menikahkan mempelai perempuan berdasarkan penetapan yang dikeluarkan oleh
hakim Pengadilan Agama bahwa wali nasab dari mempelai perempuan tersebut
dinyatakan adhol maka selesai sudah kewajibannya dan kewajiban sebagai wali
hakim dicabut kembali oleh Hakim Pengadilan Agama. Sedangkan hak yang
mungkin saja timbul dari pelaksanaan akad nikah yaitu sama dengan hak-hak
yang dimiliki oleh wali nasabnya, misalnya saja dalam hal membatalkan
pernikahan tersebut apabila ternyata terdapat syarat-syarat yang belum dilengkapi
atau dengan kata lain wali nasabnya juga ikut berhak membatalkan pernikahan
tersebut. Salah satu hal yang menjadi latar belakang hakim dalam memberikan
suatu Penetapan wali adhol sedang wali nasabnya enggan atau menolak atau adhol
adalah ingin mempermudah prosedur akad nikah.
Perkawinan merupakan upaya positif dalam rangka hubungan lebih lanjut
antara seorang laki-laki dan perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah di hadapan Allah SWT. Orang tua sebagai wali
nikah yang sah pihak perempuan seharusnya berpihak pada tujuan dari
perkawinan yang positif sesuai dengan kehendak anaknya dan menjadi wali akad
nikah anaknya, sehingga tujuan dari perkawinan tersebut dapat tercapai. Dalam
memberikan kebijaksanaan putusan penetapan wali hakim dalam pelaksanaan
akad nikah oleh Pengadilan Agama, sebaiknya perlu untuk mempertimbangkan
dengan berbagai faktor. Faktor tersebut dapat berupa faktor positif demi
terlaksanakannya akad nikah antara kedua mempelai.