Show simple item record

dc.contributor.advisorALBAYUMI, Fuat
dc.contributor.advisorIQBAL, Muhammad
dc.contributor.authorKUSUMA, Pranata Dwi
dc.date.accessioned2020-04-09T04:07:18Z
dc.date.available2020-04-09T04:07:18Z
dc.date.issued2019-07-26
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/97957
dc.description.abstractPada tanggal 9 Agustus 2016, Turki dan Rusia menjalin rekonsiliasi hubungannya setelah terjadi konflik pada bulan November 2015 tentang penembakan pesawat Sukhoi milik Rusia oleh Turki yang terjadi di perbatasan Turki dengan Suriah. Rekonsiliasi Turki dengan Rusia tersebut terjadi setelah Turki mengalami krisis setelah percobaan kudeta gagal yang terjadi pada 15 Juli 2016. Turki meminta maaf kepada Rusia perihal insiden penembakan pesawat SU-24, namun sebelumnya Putin juga memberikan dukungan langsung kepada Erdogan setelah percobaan kudeta terjadi. Kondisi hubungan Turki dengan Rusia berubah dalam kurun waktu cepat, padahal keduanya sempat dalam konflik panas. Turki yang diminta memintaa maaf atas insiden penembakan pesawat milik Rusia, bersikukuh terhadap tindakannya dan tidak mengakui kesalahan serta mengklaim Rusia yang telah melewati batas udara milik Turki walau hanya untuk sesaat. Penelitaan ini bertujuan untuk menganalisis alasan Turki melakukan rekonsiliasi hubungannya dengan Rusia dengan memggunakan asumsi dasar neorealisme. Terdapat tiga asumsisi dasar neorealisme menjadi kunci peneliti dalam menjelaskan alasan Turki melakukan rekonsiliasi hubungannya dengan Rusia. Penelitian ini bersifat deskriptif-kualitatif dan menggunakan data-data sekunder yang berasal dari buku, jurnal, serta media cetak online. Data-data tersebut dianalisis dan dideskripsikan untuk memperoleh gambaran secara utuh tentang permasalahan yang diteliti dalam skripsi ini. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa alasan Turki merekonsiliasi hubungannya dengan Rusia pada tahun 2016 dipengaruhi oleh sifat defensif-realis Turki yang sedang mengalami dilema setelah terjadi kudeta pada tahun yang sama. Namun tidak hanya itu saja yang menjadi dilema Turki. Peneliti menggunakan paradigma Neorealisme, pertama Turki sedang dalam kondisi dilema karena respon Barat yaitu Uni Eropa dan Amerika Serikat tidak mencerminkan dukungan konstruktif terhadap Turki setelah kudeta. Hal tersebut membuat Turki memberikan sedikit pilihan dalam menjalin sekutu. Rekonsiliasi hubungan Turki dengan Rusia merupakan strategi Turki untuk mendapatkan stabilitas dalam negeri juga luar negeri. Kedua Turki ingin mengamankan perbatasannya dengan Suriah karena Turki dengan Rusia sama-sama memiliki banyak kepentingan di Suriah dan kepentingan mereka sangat kontras. Kontras yang dimaksud adalah Turki tidak mendukung rezim Suriah yang sedang berkuasa namun mendukung oposisinya. Berbeda dengan Rusia yang mendukung pihak rezim yang berkuasa. Ketiga hubungan dagang Turki dengan Rusia sudah terjalin lama sehingga Turki lebih condong melakukan kerja sama kembali dengan Rusia. Lalu yang terakhir Turki ingin mengamankan suplai energi dari Rusia. Ketergantungan Turki terhadap Rusia tentang suplai energi sangat tinggi. Turki juga menjadi negara yang menjadi penerima suplai energi Rusia secara langsung melalui proyek - TurkStream. Turki ingin memanfaatkan proyek tersebut sehingga kedepannya Turki mampu mengatasi krisis energen_US
dc.language.isoInden_US
dc.publisherFISIP Ilmu Hubungan Internasional Universitas Jemberen_US
dc.relation.ispartofseries120910101010;
dc.subjectRekonsiliasi Hubungan Turki dengan Rusiaen_US
dc.subjectHubungan Turki dengan Rusiaen_US
dc.subjectkonflik Hubungan Turki dengan Rusiaen_US
dc.titleRekonsiliasi Turki Dengan Rusia Pada Tahun 2016 Reconciliation of Turkey With Rusia in 2016en_US
dc.typeThesisen_US
dc.identifier.kodeprodi091010


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record