dc.description.abstract | Korupsi adalah merupakan masalah yang begitu serius yang terdapat di
Indonesia. Korupsi ibarat suatu penyakit yang muncul secara silih berganti yang
bisa membawa kehancuran pada segi perekonomian, politik, sosial budaya, maupun
keamanan negara. Belakangan beberapa kasus menunjukkan bahwa korupsi
melibatkan partai politik, namun belum ada partai politik yang disangkakan. Dalam
tataran kebijakan anggaran terjadi banyak penyimpangan bahkan terindikasi
menimbulkan kerugiaan negara atau perekonomian negara yang memenuhi
rumusan norma tindak pidana korupsi. Berdasarkan uraian diatas permasalahan
yang dibahas ada 2 (dua) pertama Apakah tindak pidana korupsi yang dilakukan
pengurus partai politik dapat dipertanggungjawabkan oleh partai politik? kedua
bagaimana kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana partai politik dalam
tindak pidana korupsi ? Metode penulisan yang digunakan penulis adalah dengan
yuridis normatif, pendekatan masalah yang digunakan adalah metode pendekatan
secara Undang-Undang (Statute Approach), metode pendekatan konseptual
(Conceptual Approach), metode pendekatan kasus (case approach), bahan sumber
hukum yang digunakan adalah bahan hukum primeir dan sekunder.Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengatahui dan mengkaji pertanggungjawaban pidana
partai politik yang dilakukan oleh pengurus dalam tindak pidana korupsi dan
menganalisis kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana partai politik dalam
tindak pidana korupsi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa partai politik sama dengan korporasi.
Hal ini ditinjau dari aspek karakteristik dan konsep dari ketentuan perundangundangan yang ada yakni undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi dan undang-undang tentang partai politik. Mengenai pertanggungjawaban
yang bisa dimintakan kepada korporasi yang terbukti melakukan tindakan korupsi
adalah mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kecuali pidana mati,
pidana penjara dan pidana kurungan. Selain itu undang-undang pemberantasan
tindak pidana korupsi juga mengatur untuk menjatuhkan denda maksimal ditambah
dengan sepertiganya. Sehingga berdasarkan konsep pertanggungjawaban tersebut
dapat dijadikan pedoman oleh penegak hukum dalam melakukan pemberantasan
korupsi yang ada di Indonesia. Akan tetapi dengan lahirnya doktrin strict liability
maka pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana
yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan
atau kelalaian) pada para pelakunya. Lalu untuk menarik pertanggungjawaban
pidana kepada partai politik dapat dilakukan dengan pertanggungjawaban vicarious
liability yang memungkinkan partai politik tersebut untuk harus bertanggungjawab
atas perbuatan – perbuatan yang dilakukan oleh pengurus /anggota partai politik
yang mendapatkan kuasa untuk menjalankan aktivitas kepartaiannya.Partai politik
selaku badan hukum dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana korupsi,
dengan mendasari pada formulasi norma yang diatur dalam perundang-undangan
nasional serta mendasari pada ajaran tendensi sosiologis, yang mempertimbangkan
tindakan/ dampak dari tindak pidana korupsi. Mendorong penegak hukum untuk
dapat menjalankan formulasi norma pertanggungjawabkan atas tindak pidana
korupsi terhadap partai politik. Dan mendorong DPR segera mengesahkan RKUHP yang telah mengatur doktrin vicarious lliability untuk mendukung
xii
penegakan hukum pada masa mendatang. Penelitian ini juga merekomendasikan
untuk dapat melakukan pembaharuan formulasi pidana pokok terhadap partai
politik, di luar pidana denda;
Berdasarkan hasil kajian tersebut penulis memberi saran bahwa belum
adanya pengaturan yang jelas dalam KUHP mengenai pertanggungjawaban pidana
korporasi maka mengenai pengaturan partai politik sebagai badan hukum harus
diperjelas dalam undang-undang partai politik harus dirumuskan secara tegas
penggunaan teori vicarious liability dan teori identification sehingga dapat
ditentukan batas tanggung jawab partai politik sebagai pelaku tindak pidana
korupsi.
Konsep pembubaran partai politik yang melakukan tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh pengurus/ anggota partai politik dalam menjalankan aktivitas
kepartaian dari suatu partai politik, dapat diidentifikasikan melalui pembuktian
yang dilakukan dalam ruang lingkup peradilan.Setelah melalui proses pembuktian
dipersidangan dan terungkap fakta – fakta melalui alat bukti yang sah,apabila
terdakwa dinyatakan bersalah dalam melakukan upayah hukum biasa, melaui
tingkat banding dipengadilan tinggi dan kasasi di Mahkamah Agung setelah
putusan dianggap incraht dan memiliki kekuatan hukum tetap baru kemudian
Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan mengadili tersebut
merikomendasikan kepada Mahkamah Konstusi melalui pemerintah untuk
mengusulkan pembubaran partai pilitik yang terlibat korupsi. Prosedur pembubaran
partai politik tidak terlepas dengan adanya pihak pemohon, termohon dan
permohonan. Pemohon dalam perkara pembubaran partai politik ditegaskan dalam
Pasal 68 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi karena dalam
pasal tersebut tidak mengatur tindak pidana korupsi yang melibatkan pengurus
partai atau Partai politik. Untuk itu langkah yang perlu dilakukan adalah merevisi
Pasal 68 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. | en_US |