Konstruksi Pernikahan Mahasiswi Berhijab Syar’i Di Universitas Jember : Analisis Terhadap Asketisme Sebagai Faktor Pendorong
Abstract
Tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti adalah untuk mengetahui apa yang
membuat mahasiswi syar’i tersebut yakin dalam mengambil keputusan untuk
menikah ketika masih berstatus sebagai mahasiswi aktif.
Metode dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian ini menggunakan
jenis penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan konstruktivisme,
sumbernya dari 4 informan mahasiswi yang menikah di usia muda, yaitu A, B, C
dan D. Penggalian data dengan menggunakan penelitian observasi, wawancara
secara mendalam, dokumentasi dan menggunakan cara-cara lain yang dapat
menunjang jalannya penggalian data dalam penelitian.
Hasil dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa konstruksi pernikahan
dibentuk melalui 3 proses, yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi.
Selain itu aktifitas religius memiliki pengaruh yang kuat untuk memutuskan
menikah di usia muda sehingga hal tersebut dapat mengarah pada kehidupan
asketisme yang dijalani oleh mahasiswi. Adanya asketisme dalam kehidupan yang
dijalani oleh mahasiswi tersebut mampu memberikan perubahan dalam hidupnya
yang terlihat begitu menonjol. Mahasiswi syar’i bukan berarti dipandang berbeda
dengan mahasiswi pada umumnya, tetapi mahasiswi syar’i memiliki karakter
tersendiri yang memang menarik perhatian untuk diteliti lebih dalam. Selain
aktifitas religius juga terdapat sosial budaya yang pastinya turut meningkatkan
angka pernikahan di usia muda. Tradisi bagi orangtua untuk menikahkan anak
gadisnya di usia muda dikarenakan takut anaknya terjerumus pada dunia luar yang
kelak hanya akan merugikan diri sendiri bahkan mencemarkan nama baik
keluarga atau dalam artian untuk meminimalisir terjadinya perzinahan dan hal
tersebut juga dilakukan untuk menghindari cibiran dari tetangga yang dimana
pernikahan muda dianggap lebih baik daripada anak gadis pergi keluar rumah
hanya dengan status berpacaran. Kepatuhan anak terhadap orangtuanya mau tidak
mau akan menerima keputusan tersebut daripada disebut sebagai anak pembantah
tetapi pernikahan tersebut dilakukan dengan pasangan yang telah dipilih sendiri
bukan hasil dari perjodohan. Pernikahan muda yang dijalani mahasiswi ini juga
berdasarkan syarat dari orangtua, yaitu harus tetap melanjutkan kuliah hingga
mendapatkan gelar sebagaimana mestinya agar tidak mengecewakan orangtua
yang telah membiayai skolah dari awal hingga memasuki perguruan tinggi. Mau
tidak mau mahasiswi harus patuh dan rela menjalani peran ganda di usia muda ini.
Kewajiban dan tanggung jawab yang harus diemban tidak hanya
dipertanggungjawabkan kepada suami karena sudah menikah, tetapi juga pada
orangtua yang telah membesarkan dan yang paling utama kepada Tuhan agar
selalu diberi perlindungan.