dc.description.abstract | Perjalanan pengadilan agama mengalami pasang surut. Adakalanya
wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan
kenyataan yang ada dalam masyarakat.Pengadilan agama merupakan salah satu
diantara empat lingkungan peradilan negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah
di Indonesia.Dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Agama adalah salah satu dari
peradilan negara Indonesia yang sah, yang bersifat peradilan khusus, yang
berwenang dalam jenis perkara perdata islam tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, bagi orangorang
Islam
di
Indonesia.
Kewenangan
Mutlak
(Absolute
Competensi)
Pengadilan
agama
sebagaimana
tercantum dalam pasal 49 Undang-UndangNomor 50 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama adanya penambahan kemunculan pasal 49 huruf (i)
tentang penyelesaian sengketa dalam ekonomi syariah telah jelas dalam pasal ini
adalah menjadi kewenangan Pengadilan Agama, sedangkan pada Pasal 55
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah tersebut
menimbulkan disputesettlement option (pilihan penyelesaian sengketa yang baru,
karena pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama memberikan tugas dan kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi
syariah termasuk di dalamnya perbankan syariah kepada pengadilan dalam
lingkungan Pengadilan agama. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 21 tahun 2008 menimbulkan ketidakpastian hukum yang memunculkan
mekanisme penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa antara pihak bank
syariah dengan nasabah. Terdapat kontradiktif yang jelas di mana yang satu secara
tegas menyebutkan dan yang lainnya membebaskan untuk memilih, maka lahirlah
penafsiran sendiri-sendiri sehingga makna kepastian hukum menjadi tidak ada dan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28D ayat (1).
Permasalahan yang akan ditetili dalam tesis ini antara lain meneliti makna
pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang pasal bagi
penyelesaian sengketa pembiayaan di perbankan syariah yang dikaitkan dengan
makna pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama, selanjutnya akan meneliti mengenai Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tidak bertentangan dengan asas personalitas keislaman dan
Kompetensi Absolut Pengadilan Agama dan konsep pengaturan ke depan agar
penyelesaian sengketa pembiayaan di perbankan syariah lebih memberikan
kepastian hukum. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini
yaitu tipe penelitian yang bersifat yuridis normatif (Legal research). Pendekatan
masalah yang digunakan dalam penyusunan tesis ini yaitu pendekatan perundangundangan
(statute approach), dan pendekatan konsep (Conseptual approach).
Sumber bahan hukum yang digunakan adalah sumber bahan hukum primer,
sekunder, dan tersier.
Kesimpulan dari tesis ini yaitu Penjelasan Pasal 55 ayat (2) membuka
ruang opsi penyelesaian sengketa sesuai dengan isi akad melalui musyawarah,
mediasi perbankan, Badan Arbitrase Syariah dan Peradilan Umum, namun bila
dicermati bunyi Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Perbankan Syariah telah
memberikan kompetensi absolut kepada Peradilan Agama. Bahkan, penyelesaian
sengketa ekonomi syariah tersebut menurut Pasal 55 ayat (3) tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah tersebut. Kemudian menurut perspektif
hukum normatif, proses litigasi penyelesaian sengketa ekonomi syariah telah
menjadi kompetensi absolut Peradilan Agama, sebagaimana terxantum dalam
pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Adanya dua
forum (choice of forum) yang berbeda dalam menyelesaikan sengketa, sehingga
menimbulkan kontradiktif antara Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 yang secara tegas mengatur jika terjadi sengketa dalam Perbankan
Syariah maka harus dilaksanakan dalam lingkungan Peradilan Agama. Sedangkan
ayat (2)-nya memberi pilihan kepada para pihak yang terikat dalam suatu akad
untuk memilih akan dilaksanakan di lingkungan peradilan mana akan
dilaksanakan jika terjadi sengketa dalam Perbankan Syariah, sehingga bisa
diasumsikan para pihak boleh memilih apakah mau di lingkungan Peradilan
Agama, atau di Peradilan Umum. Bahkan tidak menutup kemudian di lingkungan
peradilan lain juga diberi keleluasaan oleh ayat (2) Pasal 55 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 asalkan tercantum dalam akad, sehingga hal ini
menimbulkan tumpang tindih lembaga peradilan yang berwenang. Dengan
demikian pengujian materi (judicial review) ke Mahkamah KonstitusiPasal 55
ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 sangat tepat karena telah
bertentangan dengan pasal 28D ayat (1). Agar Mahkamah Konstitusi dapat
mengeluarkan Putusan yang dapat menjawab segala hal permasalahan yang
menimbulkan kekisruhan dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah dan
juga diharapkan menciptakan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa
perbankan syariah.Saran untuk Mahkamah Agung segera membuat Peraturan
Mahkamah Agung baru atau merevisi tentang perubahan Peraturan Mahkamah
Agung No 3 Tahun 2008, agar Peraturan Mahkamah Agung tersebut menjadi
rujukan para hakim dalam lingkungan peradilan agama untuk memutus perkara
ekonomi syariah (perbankan syariah) dengan tujuan tidak terjadinya disparitas
putusan antar hakim dalam memutus perkara ekonomi syariah (perbankan
syariah) dan juga lebih memperbaruhi pengetahuan para hakim dalam konteks
ekonomi syariah masa kini. | en_US |