dc.description.abstract | Remaja berada dalam periode kritis selama masa pertumbuhan dan
perkembangan serta rentan berperilaku berisiko, terutama dalam hal kesehatan
reproduksi remaja (KKR) (Susanto, Sahar, & Widyatuti, 2012, 2015) dimana
remaja mulai mengkonsumsi pornografi, melakukan perilaku seksual berisiko,
gangguan orientasi seksual (LGBT) dan kehamilan diluar nikah. Hasil studi di
Kabupaten Jember oleh Susanto et al. (2014-2016), menunjukkan prevalensi
perilaku reproduksi aktif remaja sebesar 50.6% (Susanto, Rahmawati,
Wuryaningsih, et al., 2016), perilaku negative selama pubertas sebesar 39.0%
dan imaturitas selama perkembangan remaja sebesar 20.3% (Tantut Susanto et
al., 2016). Hal ini berkaitan dengan kurangnya pendidikan KKR baik di
keluarga dan sekolah (Susanto, 2015), karena diskusi masalah KKR dianggap
tabu di keluarga dan masyarakat (Susanto, Kimura, Rumiko, & Tsuda, 2016)
dan rendahnya pengetahuan masalah reproduksi pada remaja (Susanto, Kimura,
Tsuda, Wuri Wuryaningsih, & Rahmawati, 2016). Kondisi ini menunjukkan
besarnya masalah KKR di kalangan remaja yang membutuhkan peranan dari
keluarga, masyarakat dan sekolah.
Di lain pihak, waktu anak remaja banyak dihabiskan di sekolah, sehingga
sekolah sangat efektif dalam memberikan pendidikan kesehatan (Susanto,
Sulistyorini, Wuryaningsih, & Bahtiar, 2016), khususnya permasalahan KRR.
Program pendidikan KRR untuk siswa lebih efektif melalui pendekatan teman
sebaya melalui pemberian informasi dan konseling sesama teman sebaya
(Susanto, Rahmawati, & Wantiyah, 2016). Oleh karena itu, untuk perlu adanya
fasilitasi yang baik dari guru di sekolah dalam pendidikan kesehatan reproduksi
remaja yang sehat. Sekolah dapat dijadikan sebagai mitra dalam pemberdayaan
siswa untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku KRR dalam
membentuk remaja yang tangguh dalam kesehatan reproduksi, karena remaja
kedepannya akan membentuk sebuah keluarga yang berbasis kearifan lokal.
Beberapa program kesehatan reproduksi remaja telah dilaksanakan, baik
berbasis komunitas, sekolah, mapun keluarga. Hasil penelitian terbaru
menunjukkan bahwa program klinik remaja berbasis komunitas mampu
meningkatkan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan kesehatan reproduksi
remaja (Susanto, Rahmawati, & Wantiyah, 2016). Sementara itu, metode
pendidikan kesehatn reproduksi remaja dengan menggnakan visual in
participatory program mampu memfasilitasi peningkatan pengetahuan, sikap,
dan perilaku kesehatan reproduksi remaja di sekolah (Susanto, Rahmawati, &
Wantiyah, 2017). Di lain pihak, pelaksanaan peer to peer remaja mampu
membentuk ketrampilan hidup yang baik remaja terkait dengan kesehatan
reproduksi (Susanto et al., 2017). Untuk itu perawat di Puskemas diharapkan
dapat bekerja sama dengan pihak sekolah, terutama guru sebagai fasilitator
dalam pendidikan kesehatan reproduksi remaja di sekolah. Perawat komunitas
diharapkan dapat mengembangkan program layanan keperawatan komunitas
dalam setting sekolah (Susanto, Bachtiar, & Turwantoko, 2019)untuk
memfasilitasi kesehatan reproduksi remaja.
Buku pengangan program kesehatan reproduksi remaja bagi fasilitator ini
disusun guna dapat membantu para guru SMP dalam memberikan pendidikan
kesehatan reproduksi bagi siswanya. Buku pengangan ini membahas tentang (1)
Pelatihan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja (PKPR); (2) Pusat
Informasi Dan Konseling Remaja (Pik Remaja); (3) Tumbuh Kembang
Remaja; (4) Gizi Remaja; (5) Kesehatan Reproduksi Remaja; (6) Infeksi
Menular Seksual Dan Infeksi Saluran Reproduksi; (7) Generasi Berencana
(Genre); (8) Kenalakan Remaja; (9) Rokok ; (10) Narkotika, Alkohol
Psikotropika Dan Zat Adiktif Lainnya; (11) Komunikasi Dan Konseling;
812) Pendidikan Keterampilan Hidup Sehat (PKHS); dan (13) Cara Belajar
Partisipatif. Semoga buku penganggan ini dapat menjadikan para guru
sebagai fasilitator untuk melakukan coaching dan guidance yang baik bagi
siswa di sekolah untuk belajar terkait kesehatan reproduksi remaja untuk
menghindari perilaku berisiko seksual pada remaja (Susanto, 2015) dan terbagun jejaring kesehatan reproduksi remaja yang sehat di komunitas
(Susanto, 2014). | en_US |