Prinsip Kepastian Hukum Hak Pemberi Kerja Untuk Memberikan Perintah Kepada Pekerja Dalam Sistem Alih Daya ( Outsourcing)
Abstract
Dalam sistem alih daya (outsourcing) terdapat 3 pihak yakni pemberi
pekerjaan, perusahaan pemborong pekerjaan atau penyedia jasa pekerja dan
pekerja/buruh itu sendiri. Hubungan kerja hanya pada pekerja/buruh dengan
perusahaan penyedia jasa pekerja yang dituangkan dalam perjanjian kerja tertulis.
Perjanjian kerja dapat berbentuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (selanjutnya
disebut PKWT/Pekerja Kontrak) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(selanjutnya disebut PKWTT/Pekerja Tetap). Perbedaan penafsiran dialami oleh
pekerja/buruh dan pemberi kerja mengenai perintah langsung dan tidak langsung
yang tidak mempunyai hubungan kerja, pekerja merasa tidak mempunyai
perlindungan hukum untuk statusnya kedepan apakah masih akan bekerja
diperusahaan yang sama maupun perusahaan berbeda dalam satu proyek yang
sama dengan perjanjian PKWT/kontrak maupun PKWTT/Permanen dalam hal ini
hak mendapatkan pesangon ataukah terus bekerja dikarenakan ketidakjelasan
siapa pimpinan sesunggunhya. Hubungan kerja berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU
Ketenagakerjaan adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan
perintah. Hal inilah yang memunculkan disharmonisasi pasal 65 ayat 2 huruf b
dengan Pasal 28 D ayat (1 dan 2) UUD RI 1945. Dari latar belakang tersebut
maka peneliti mengangkat judul tesis: “Prinsip Kepastian Hukum Hak Pemberi
Kerja Untuk Memberikan Perintah Kepada Pekerja Dalam Sistem Alih
Daya (Outsourcing)”. Tujuan penelitian tesis ini terbagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu: Pertama, mengkaji, menganalisis dan menjelaskan ratio legis hak pemberi kerja untuk
memberikan perintah kepada pekerja dalam sistem alih daya (outsourcing) yang
secara hukum tidak memiliki hubungan kerja. Kedua, mengkaji, menganalisis dan
menjelaskan hak memberikan perintah kepada pekerja dalam sistem alih daya
(outsourcing) berdasarkan prinsip-prinsip hubungan kerja. ketiga, mengkaji, menganalisis dan menjelaskan konsep pengaturan kedepan agar hak pemberi kerja
dalam sistem alih daya (outsourcing) sesuai dengan prinsip - prinsip hubungan
kerja. Metode penelitian yang dipergunakan untuk memperoleh bahan hukum
dalam penulisan tesis ini adalah yuridis normatif. Penelitian hukum normatif
adalah penelitian yang memberikan penjelasan sistematis aturan yang mengatur
suatu kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan antara peraturan
menjelaskan daerah kesulitan dan mungkin memprediksi pembangunan masa
depan. Hal ini sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum, penelitian hukum
dilakukan untuk menghasilkan argumentasi hukum, teori atau konsep baru sebagai
preskriptif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Pendekatan yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah pendekatan perundang-undangan
(statute approach) dan pendekatan historis (historical approach) serta pendekatan
konseptual (conceptual approach). Hasil penelitian dalam tesis ini terbagi menjadi 3 (tiga) yang merupakan
jawaban atas rumusan masalah. Pertama, ratio legis hak pemberi kerja untuk
memberikan perintah kepada pekerja dalam sistem alih daya (outsourcing) yang
secara hukum tidak memiliki hubungan kerja, disebutkan dalam ketentuan pasal 3
ayat 2 (b) Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 Tentang syarat-syarat
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain yakni sebatas
untuk memberi penjelasan tentang cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai
dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan dan hal ini
dapat disebutkan dalam perjanjian kerja antara perusahaan outsourcing dengan
pekerja/buruh nya. Kedua, hak memberikan perintah kepada pekerja dalam sistem
alih daya (outsourcing) bertentangan dengan prinsip - prinsip hubungan kerja
dikarenakan tidak adanya hubungan kerja dengan dalam perjanjian kerja, namun
untuk menciptakan prinsip kepastian hukum masing-masing pihak dapat
disebutkan hak memberikan perintah dalam isi perjanjian kerja baik dalam bentuk
PKWT/Pekerja kontrak ataupun PKWTT/Pekerja Permanen antara perusahaan
outsourcing dengan pekerja/buruhnya sehingga perintah yang diberikan dapat
terukur sesuai yang diperjanjikan kedua belah pihak. Ketiga, dalam konsep
kepastian hukum kedepan pengaturan hak pemberi kerja dalam sistem alih daya
(outsourcing) yang sesuai dengan prinsip-prinsip hubungan kerja dapat dilakukan
dengan melakukan revisi/perubahan sesuai dengan perkembangan kebutuhan
hukum saat ini. Revisi/perubahan yang dimaksud dalam hal ini adalah pada UU
Ketenagakerjaan tentang pengaturan sistem alih daya (outsourcing). Hal tersebut
bertujuan untuk memberikan kepastian hukum perlindungan pekerja outsourcing
yang diwujudkan dalam perjanjian kerja, serta menghindari multitafsir terhadap
peraturan perundang-undangan.
Pada bagian akhir penelitian ini penulis akan memberikan saran. Pertama, pemerintah lebih mengoptimalkan peranan pengawasan melalui Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk mengawal, pendampingan, sosialisasi serta
melakukan pemeriksaan terhadap perusahaan-perusahaan outsourcing secara
berkala bersama dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dengan Serikat
Pekerja Indonesia (SPSI) supaya aturan dan pelaksanaannya berjalan
berdampingan dan mengoptimalkan peran lembaga kerjasama tripartit yang terdiri
dari (Pemerintah, SPSI, dan APINDO). Kedua, Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi segera menginstruksikan dinasnya di berbagai kabupaten/kota untuk
memerintahkan perusahaan outsourcing mencatatkan perjanjian kerjanya untuk
memastikan isi perjanjian sesuai regulasi yang ada, dalam hal ini mewujudkan
kepastian hukum pekerja/buruh. Ketiga, Pemerintah untuk segera membuat
regulasi jenis-jenis pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang yang kedepannya
bisa menjadi acuan yang lebih jelas dan terukur terhadap pekerjaan yang bisa di
outsourcing sehingga prinsip kepastian hukum dapat terwujud dengan baik.
Collections
- MT-Science of Law [333]