dc.description.abstract | Dalam membaca perkembangan atau dinamika di dunia,
bangsa manapun, khususnya yang menjunjung tinggi hiduo
berkeadaban, wajib terus diketuk nyalinya supaya terus menerus
mewaspadai sepak terjang terorisme, baik dalam ranah lokal,
nasional, hingga global, pasalnya mereka (para teroris) tidak kenal
henti dalam mengembangkan sayap kekuatannya,
Kita tahu, bahwa sekelompok orang atau sekumpulan manusia
dengan logika bengkok, yang istilah lain disebut “sesat pikir” seperti
teroris terus saja mengancam konstruksi kehidupan bangsa Indonesia.
Mereka kembangkan dan “kampanyekan” pikiran atau ideogi
sesatnya untuk bisa dikonsumsi bangsa manapun.
Dengan paham sesat itu, mereka menebar teror, mengebom,
sampai membunuh orang-orang tak berdosa. Apa pun paham
bengkok mereka sama sekali tidak dapat dibenarkan dan merupakan
manusia yang bukan hanya “pembangkang-pembangkang” hukum,
tetapi juga penghancur kepentingan asasi manusia.
Ironisnya, ada saja elemen masyarakat yang menerima,
mendukung, dan menampung atu memberi “rumah” pada para
teroris. Dumikian ini terbukti dengan kemunculan para teroris yang
ditangkap di Bekasi beberapa hari lalu, dimana Densus 88 Antiteror
menangkap dua teroris dalam penggerebekan di Kabupaten Bekasi,
Jawa Barat. Adapun terduga teroris yang ditangkap adalah anggota
kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Lampung.
Masyarakt sebenarnya paham, betapa mengerikan dampak
pengeboman yang dilakukan para teroris. Sebagai sampel Masih
terngiang di telinga kita akan kekejaman dan kejahatan pengeboman
teroris di Sri Lanka yang membabi-buta meledakkan diri di dalam
gereja, sehingga ratusan umat Katolik yang tengah Misa Kudus
menjadi korban kebejatan moral mereka. Betapa besar dosa teroris
yang mengebom orang-orang yang tengah khusuk di dalam rumah
Tuhan.
Kita mestinya memang harus terus membaaca, bahwa paham
teroris global terus saja berkembang merasuki atau “menyerang”
masyarakat (dunia), meski berbagai upaya untuk mengejar dan
membasmi tak henti-hentinya dilakukan. Ini menandakan bahwa
gerakan atau kampanye cuci otak dari teroris ke calon (sel-sel) teroris
berjalan sangat baik, termasuk yang dijalankan di Indonesia.
Berkat kondisi tersebut, membuat teroris di Indonesia tetap
masih hidup dan dalam beberapa kejadian, terbaca terus menggeliat
menunjukkan eksistensinya. Dalam ranh demikian, aparat tentu saja
harus lebih keras lagi dan menyeluruh dalam membasmi teroris.
Jangan ada ruang “kratifitas” bagi teroris.
Kenapa apparat harus lebih serius lagi? Kita tahu, bahwa tidak
ada penjahat yang berani menyerang markas kepolisian, kecuali
teroris. Teroris ini sudah berkali-kali menyerang markas kepolisian.
Diantara yang pernah merasakan serangan ini adalah Polda Sumut,
dimana 1 prajurit (polisi) meninggal dunia. Penyerangan terhadap
markas kepolisian ini menunjukkan, bahwa teroris itu pemberani atau
tidak takut dengan polisi.
Itu juga mengindikasikan kalau teroris itu tidak takut mati atau
tidak kecil nyali meski harus menghadapi aparat. Hukuman mati atau
tembak ditempat tidak membuat teroris takut. Ia tidak gentar
menjalankan misinya.
Nyawa bagi teroris ditempatkannya sebatas sebagai instrumen.
Baginya yang penting mewujudkan misi, meski harus mati.
Sepertinya ada kepuasan spiritual kalau bisa mati dengan cara
menghadapi aparat atau menyerang markas kepolisian.
Kehadiran buku ini merupakan salah satu sikap, bahwa mulai
dari aspek rasio (ide) hingga sikap dan perilaki, kita wajib tunjukkan,
kalau teroris adalah musuh bersama (common enemy) masyarakat
beradab. | en_US |