Penggolongan Notaris Sebagai Pengusaha Kena Pajak Pertambahan Nilai Dalam Sistem Perpajakan Nasional
Abstract
Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik
dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini
atau berdasarkan undang-undang lainnya. Dijelaskan lebih lanjut dalam konsiderans
menimbang huruf C, yaitu bahwa notaris merupakan jabatan tertentu yang
menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat. Adanya
inkonsistensi penyebutan pengusaha pada Notaris sebagai pejabat umum untuk diberi
sebutan “Pengusaha” dalam kaitan dengan pengukuhannya sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP) yang pada dasarnya dapat dipahami dan dimengerti terutama bila
dikaitkan dengan kedudukan/status pekerjaannya sebagai pejabat umum. Namun bagi
Direktorat Jenderal Pajak sebaliknya timbul suatu kesulitan yuridis untuk
menggunakan istilah lain, selain istilah/sebutan PKP bagi para Notaris yang
dikukuhkan, karena Undang-undang tentang Pajak Pertambahan Nilai hanya
mengenal satu sebutan saja untuk subyek Pajak Pertambahan Nilai baik dalam
kedudukan sebagai pedagang/ industriawan/importir/pabrikan maupun Pengusaha
Jasa yaitu sama-sama disebut sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Selain itu
istilah PKP sudah merupakan istilah baku dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai. Jasa hukum yang seharusnya melayani segala
macam lapisan masyarakat untuk memperoleh keadilan dan perlindungan hukum
namun tetap dibebankan dengan pungutan PPN. Bila masyarakat kecil dan tidak
mampu yang menggunakan jasa Notaris tetap dibebankan PPN, apakah hal ini tidak
semakin menambah beban masyarakat yang sedang mengupayakan mendapat
keadilan dan kepastian hukum.
Berdasarkan beberapa hal tersebut di atas penulis menidentifikasikan
beberapa rumusan masalah antara lain : (1) Apakah Notaris dapat dikualifikasikan
sebagai pengusaha kena pajak ; (2) Apakah jasa Notaris merupakan kegiatan usaha
terkait dengan jasa hukum yang diberikan kepada masyarakat ; dan (3) Bagaimana
pengaturan ke depan terhadap Notaris dalam pemenuhan PPN ? Tipe penelitian yang
digunakan dalam penyelesaian tesis ini adalah tipe penelitian yuridis normatif. Sesuai
dengan tujuan yang akan dicapai, maka metodologi dalam penelitian tesis ini
menggunakan dua macam pendekatan, yakni pendekatan perundang-undangan
(statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approarch). Dalam
pengumpulan bahan hukum ini penulis menggunakan metode atau cara dengan
mengklasifikasikan, mengkategorisasikan dan menginventarisasi bahan-bahan
hukum yang dipakai dalam menganalisis dan memecahkan permasalahan.
Hasil kajian yang diperoleh bahwa : Pertama, Penandatanganan akta otentik
yang tidak dilakukan dihadapan notaris dapat membawa Notaris tidak dapat
dikualifikasikan sebagai pengusaha kena PPN/BM karena notaris bukan merupakan
profesi tetapi merupakan pejabat, selain itu klien notaris bukan merupakan
konsumen, sehingga dengan demikian jasa di bidang kenotariatan tidak termasuk
dalam jenis jasa dikenakan PPN dan PPnBM. Kedua, Jasa notaris tidak termasuk
dalam kegiatan usaha, karena notaris adalah pejabat yang menjalankan jabatannya.
Notaris bukan merupakan pengusaha dan kliennya bukan konsumen, sehingga jasa
yang diberikan tidak seperti profesi yang lain. Dengan demikian, jasa notaris tidak
dapat dikenakan PPH. Ketiga, Pengaturan ke depan bahwa jasa notaris dimasukkan
ke dalam kategori jasa pelayanan tertentu yang tidak dikenakan PPN. Hal tersebut
karena pelayanan yang diberikan oleh Notaris sebagai Pejabat Umum/tidak sama
dengan jasa hukum yang diberikan oleh praktisi dalam bidang hukum yang lainnya,
maka seharusnya pelayanan Notaris dimasukkan ke dalam jasa yang tidak dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana yang juga diberikan terhadap beberapa jenis
jasa lainnya. Terkait demikian kedepannya diperlukan sebuah keseragaman
kebijakan mengenai pemungutan PPN terhadap jasa Notaris.
Berdasarkan hasil kajian tersebut penulis memberikan saran, antara lain :
Sebaiknya jabatan notaris dikecualikan dalam objek PPN. Jasa hukum notaris
dikecualikan sebagai obyek PPN, hal ini dikarenakan jasa hukum yang diberikan
oleh Notaris adalah jasa hukum publik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat
banyak guna mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan hukum. Jasa notaris
bukan tidak termasuk dalam kegiatan usaha, karena notaris bukan merupakan
pengusaha dan kliennya bukan konsumen. Pemerintah dan DPR perlu merevisi atau
membuat regulasi yang lebih menjamin kepastian hukum dalam hal membebankan
Pajak Pertambahan Nilai atas jasa Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah, dikarenakan
Undang-Undang Jabatan Notaris pada Pasal 1 ayat 1 memberi pengertian Notaris
adalah Sebagai Pejabat Umum, sedangkan dalam Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai pada pasal 3A ayat 1 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
197/PMK.03/2013 menggolongkan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
sebagai pengusaha, hal tersebut dapat menyebabkan perbedaan penafsiran oleh
Notaris/ Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Hendaknya Notaris bekerjasama
dengan instansi pemerintah yang terkait seperti Kantor Dirjen Pajak, KPP dan Kantor
akuntan dalam melakukan pembinaan dan sosialisasi yang terintegrasi dan secara
rutin mengenai perpajakan Notaris, pencatatan dan pembukuan Notaris.
Collections
- MT-Science of Law [333]