dc.description.abstract | Negara Republik Kenya melakukan pemilu pada tahun 2017 dalam rangka suksesi pemimpin untuk menjaga legitimasinya dan menjunjung konstitusi. Pemilu yang dilakukan pada tanggal 8 Agustus 2017 tersebut dimenangkan oleh kandidat petahana Uhuru Kenyatta, unggul 10% dari kandidat oposisi Raila Odinga. Hasil ini ditentang oleh para pendukung oposisi dengan melakukan aksi protes yang berujung pada kekerasan. Setelah melakukan pemeriksaan sesuai dengan petisi yang diajukan oleh pihak oposisi, Mahkamah Agung Kenya mengeluarkan keputusan yang menyatakan bahwa hasil pemilu presiden tidak sah dan harus diselenggarakan ulang dalam jangka waktu 60 hari dari ditetapkannya keputusan. Keputusan mahkamah agung tersebut merupakan suatu keputusan tidak terduga yang sangat mengejutkan, mengingat Kenya merupakan negara yang telah menyelenggarakan pemilu secara periodik sejak awal kemerdekaannya hingga saat ini dan cenderung untuk mempertahankan hasil apapun yang diperolehnya sebagai landasan untuk membentuk pemerintahan selanjutnya. Bahkan konflik etnis berdarah yang terjadi akibat kecurangan dalam pemilu tahun 2007 tidak mampu mengubah hasil pemilu yang telah ditetapkan oleh komisi pemilu. Sehingga, alasan Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan tersebut menjadi menarik untuk diteliti. Penilitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, yaitu dengan mengamati kenyataan empirik dari suatu fenomena untuk menarik suatu kesimpulan. Pengumpulan data untuk penelitian ini menggunakan metode studi pustaka. Data-data yang digunakan terdiri dari data primer yang berasal dari UU, dokumentasi, dan laporan kenegaraan dari lembaga-lembaga pemerintahan Kenya. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan berbagai data sekunder seperti buku, jurnal, dan berita-berita politik internasional yang menyoroti masalah pemilu presiden Kenya tahun 2017. Untuk menganalisa permasalahan, penulis v menggunakan pendekatan perilaku terhadap konsep pemilihan umum, the rule of law, dan konsolidasi demokrasi. Hasil penelitian yang didapat dengan membandingkan dua kasus pemilu menunjukkan bahwa adanya hambatan pada proses konsolidasi demokrasi berupa faktor kultural kebiasaan yang tidak demokratis dari sikap penyelenggara pemilu dan penegak hukum dalam pelaksanaan pemilu. Faktor kultural ini dipengaruhi oleh setting demokrasi yang terbentuk di Kenya. | en_US |