Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Persetubuhan Yang “Tidak Berdaya” Dalam Pasal 286 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Abstract
Dalam kaitannya dengan tindak pidana persetubuhan yang dilakukan secara
ilegal, kelemahan KUHP terletak pada sempitnya ruang lingkup pengertian tindak
pidana persetubuhan yang dilakukan secara ilegal yang mengecualikan beberapa hal,
diantaranya tidak mengenal perkosaan yang terjadi dalam rumah tangga,
mengesampingkan perkosaan yang tidak dilakukan tanpa penetrasi penis kedalam
vagina, mengesampingkan perkosaan yang dilakukan tanpa paksaan fisik. Salah satu
kajian yang akan disajikan oleh penulis adalah persetubuhan yang dilakukan secara
ilegal dalam perspektif Pasal 286 KUHP. Berdasarkan uraian tersebut diatas, menarik
untuk dikaji lebih lanjut mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak
Pidana Persetubuhan Yang “Tidak Berdaya” Dalam Pasal 286 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana. Tipe penelitian yang digunakan dalam penyelesaian tesis ini adalah
tipe penelitian yuridis normatif.
Hasil kajian yang diperoleh bahwa : Pertama, Makna tidak berdaya dalam Pasal
286 KUHP artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak
dapat mengadakan perlawanan sedikitpun. Unsur tidak berdaya adalah unsur objektif
yang didasari atau diketahui oleh si pembuat. Kondisi tidak berdaya itu bukanlah
akibat dari perbuatan si pelaku melainkan suatu kondisi yang sudah terjadi. Si pelaku
hanya disyaratkan untuk secara subjektif mengetahui bahwa perempuan tersebut
sedang dalam keadaan tidak berdaya. Dalam praktiknya sebagaimana contoh kasus,
untuk membuktikan lebih lanjut adanya unsur tidak berdaya tersebut masih dibutuhkan
adanya tolok ukur keterangan ahli yang menerangkan bahwa korban dikategorikan
“tidak berdaya”. Kedua, Kondisi korban yang dalam kategori “tidak berdaya”
merupakan orang yang berpotensi atau potensial untuk menjadi korban tindak pidana
karena ketidakberdayaannya tersebut. Kondisi ketidak berdayaan tersebut
memungkinkan orang lain yang mempunyai niat jahat untuk mengeksploitasi atau
merugikan korban. Atas dasar uraian tersebut, pada dasarnya diperlukan perlindungan
hukum yang memadai bagi korban dalam kategori “tidak berdaya” tersebut. Ketiga,
Formulasi hukum dalam Pasal 286 KUHP kedepan, bahwa hukuman maksimal yang
diberikan kepada pelaku persetubuhan yang dilakukan secara ilegal dalam formulasi
Pasal 286 KUHP yaitu 9 (sembilan) tahun menurut hemat penulis masih terlalu ringan
karena disamakan dengan beberapa ketentuan dalam Pasal 285, 287 dan 288 KUHP.
Seharusnya hukuman yang diberikan kepada pelaku dalam Pasal 286 KUHP lebih berat
daripada tindak pidana persetubuhan yang dilakukan secara ilegal lainnya karena
pelaku menginsyafi dan menyadari bahwa korbannya adalah orang yang “tidak
berdaya”. Orang yang sadar dan menginsyafi hal tersebut tentunya harus melindungi,
mengayomi, menjaga orang yang “tidak berdaya” tersebut bukannya malah melakukan
persetubuhan yang dilakukan secara ilegal terhadapnya. Selain itu, para pembuat
kebijakan kedepan harus mengevaluasi ketentuan Pasal 286 KUHP dengan
memberikan perluasan makna berikut penjelasan yang lebih komperehensif terhadap
makna tidak berdaya dalam Pasal 286 KUHP. Dalam hal perlindungan, secara
viktimologi kedudukan korban berperan sebagai saksi korban dan pihak yang wajib
dilindungi oleh jaminan kepastian hukum. Penting kiranya dilakukan revisi atas
ketentuan Pasal 286 KUHP khususnya tentang adanya hukuman minimal selain
hukuman maksimal juga perlunya diberikan hukuman tambahan selain hukuman
penjara.
Collections
- MT-Science of Law [333]