Keputusan Dewan Kerjasama Negara Arab Teluk Menetapkan Hizbullah Sebagai Organisasi Teroris.
Abstract
Seiring terjadinya fenomena Arab Spring yang melanda kawasan Timur Tengah, Hizbullah muncul sebagai elemen pergerakan yang progresif di regional tersebut. Progresifitas Hizbullah tersebut ditunjukkan dengan keterlibatan serta peran aktif Hizbullah dalam konstelasi politik di regional ini. Arab Spring juga turut memperluas ruang lingkup pergerakan Hizbullah yang semula hanya sebatas teritorial Lebanon dan terbatas isu internal politik pemerintahan serta konflik Israel-Palestina, kini Hizbullah tampil sebagai elemen progresif yang melingkupi area konstelasi politik pada level regional (Suriah, Irak, Yaman). Ekspansi ruang lingkup pergerakan Hizbullah tersebut sekaligus merupakan ancaman bagi Dewan Kerjasama Arab Teluk (Gulf Cooperation Council (GCC)). Maka dari itu dalam upaya merespon ancaman yang disebabkan oleh Hizbullah, GCC memerlukan sebuah manuver khusus (agenda keamanan) untuk menetralisir instabilitas yang ditimbulkan. Agenda keamanan yang dilakukan oleh GCC tersebut diwujudkan dengan penetapan Hizbullah sebagai organisasi teroris.
Penjelasan agenda keamanan yang dilakukan oleh GCC untuk menetralisir ancaman yang ditimbulkan oleh Hizbullah secara spesifik akan ditinjau melalui teori sekuritisasi. Asumsi dasar dari teori sekuritisasi tersebut adalah upaya pengamanan suatu pihak (securitizing actors) terhadap suatu objek (referent object) yang tengah mendapatkan ancaman (existential threat). Teori sekuritisasi yang dikembangkan oleh Copenhagen School ini akan menjadi landasan penulis dalam mengulas mekanisme sekuritisasi yang dilakukan oleh negara anggota GCC sehingga pada akhirnya muncul keputusan untuk menetapkan Hizbullah sebagai organisasi teroris. Dalam proses penelitian ini, penulis menggunakan studi literatur kepustakaan yang dianalisis menggunakan metode kualitatif.
Hasil dari penelitian ini, penulis menemukan bahwa dalam proses sekuritisasi tersebut peran securitizing actors yang direpresentasi oleh Arab Saudi, Bahrain, dan Qatar menempati posisi signifikan untuk menyuarakan (speech act) agenda keamanan terhadap anggota GCC secara keseluruhan dalam merespon eksistensi Hizbullah. Agenda keamanan GCC terhadap Hizbullah tersebut memiliki kaitan erat dengan eksistensi Republik Islam Iran dalam konstelasi geopolitik Timur Tengah. Ekspansi pengaruh Iran pada saat fenomena Arab
Spring merupakan ancaman geopolitik bagi negara Arab Teluk. Dalam konteks ini, Hizbullah merupakan salah satu instrumen Teheran dalam memainkan agenda geopolitiknya di kawasan. Posisi tersebut ditunjukkan oleh Hizbullah dengan keterlibatannya di beberapa negara Timur Tengah (Suriah dan Irak) untuk mendukung agenda politik Teheran di regional Timur Tengah. Oleh karena itu, posisi Hizbullah menduduki level ancaman yang krusial bagi negara Arab Teluk GCC.
Mekanisme agenda keamanan tersebut ditunjukkan oleh para securitizing actors dengan mengkostruksikan Hizbullah sebagai ancaman terhadap referent objects, yakni ancaman berupa kedaulatan status quo nasional, stabilitas geopolitik kawasan, serta ideologi negara anggota GCC. Dalam proses agenda keamanan tersebut, Arab Saudi merupakan securitizing actor utama dalam proses konstruksi Hizbullah. Bersama dengan Bahrain, Arab Saudi mengkonstruksi Hizbullah sebagai ancaman bagi status quo monarki negara Arab Teluk. Sedangkan bersama dengan Qatar, Arab Saudi menggunakan isu stabilitas geopolitik kawasan sebagai respon progresifitas Hizbullah di regional Timur Tengah. Selain mengkonstruksi Hizbullah sebagai ancaman status quo dan geopolitik, Arab Saudi juga memainkan isu sektarian untuk menanamkan persepsi bahwa Hizbullah dengan partner-nya di Teheran tengah melakukan ekspansi ideologi Syiah di negara Arab Teluk.
Pada dasarnya, penetapan Hizbullah sebagai organisasi teroris bukanlah hal yang baru, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat dan negara-negara barat lain. Akan tetapi dalam konteks dunia Arab, label teroris yang ditujukan kepada Hizbullah masih menjadi perdebatan antar negara-negara di Timur Tengah. Di dalam internal negara GCC pun, sebelumnya masih belum memiliki suara yang bulat dalam konteks organisasi regional untuk menetapkan Hizbullah sebagai organisasi teroris. Segera setelah Arab Saudi melakukan konstruksi ide (shared understanding) tentang ancaman yang ditimbulkan, isu penanganan Hizbullah bergeser dari yang semula hanya agenda keamanan per negara, kini menjadi isu sekuritisasi GCC secara keseluruhan. Keberhasilan proses sekuritisasi yang dilakukan GCC tersebut didukung dengan tindakan kongkrit negara anggotanya untuk menerapkan kebijakan yang menyudutkan pemerintah Lebanon dalam upaya mengisolasi Hizbullah.