GAMBARAN UMUM KASUS DEMAM TIFOID/ PARATIFOID NON KOMPLIKATA di UNIT RAWAT INAP SMF IPD RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA PERIODE 2004-2005
Abstract
Demam tifoid/ paratifoid masih merupakan masalah kesehatan yang serius di negara berkembang. Insidensi demam tifoid/ paratifoid di Indonesia berkisar antara 760-810 pasien/ 100.000 penduduk setiap tahunnya.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni - September 2006 di Bagian Rekam Medik RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan menggunakan data sekunder. Subyek penelitian ini adalah penderita demam tifoid/ paratifoid antara tahun 2004 - 2005 di RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Untuk menganalisis hasil penelitan, digunakan metode diskriptif berupa narasi yang disertai table. Dari pengolahan data, didapatkan 99 dari 234 kasus yang memenuhi kriteria.
Hasil yang diperoleh menunjukkan jenis kelamin, usia, manifestasi klinis yang timbul, antibiotik yang digunakan sekaligus fever clearance time-nya. Pada penelitian ini didapatkan penderita demam tifoid/ paratifoid non komplikata sebanyak 58 penderita (58,6%) adalah perempuan sedangkan laki-kaki sebanyak 41 penderita (41,4%). Untuk kelompok usia terbanyak menderita demam tifoid/ paratifoid non komplikata adalah rentang usia 21-40 th yaitu 43 kasus (43,4%), kemudian berturur-turut (11-20 th) 32 kasus (32.3%), (41-65 th} 19 kasus (19,2%) dan (> 65 th) 5 kasus (5.1%). Berdasarkan manifestasi klinis yang timbul, seluruh penderita demam tifoid/ paratifoid merasakan gejala kIinis berupa demam (sebanyak 99 penderita atau 100%), hal ini sekaligus menempatkan demam sebagai gejala klinis yang paling banyak dirasakan penderita. Secara berturut-turut dibawahnya, nyeri kepala 49 penderita (49,5%), mual 48 penderita (48,5%), lidah kotor 32 penderita (32.3%), lemas 32 penderita (32,3%), muntah 30 penderita (303%). nafsu makan menurun 27 penderita (27,3%), diare 22 penderita (22,2%), batuk 13 penderita (13,1%). tenggorokan kering dan nyeri telan masing-masing sebanyak 6 penderita (6,1%), konstipasi 5 penderita (5.1%), hepatomegali 1 penderita (1%) dan tidak ada seorangpun penderita yang mengalami splenomegali. Berdasarkan penggunaan antibiotik dari 6 antibiotika yang sering digunakan, chloramphenicol merupakan jenis antibiotik yang sering digunakan dalam terapi, yaitu sebanyak 34 kasus (34,4%). Secara berturut-turut cefotaxime 31 kasus (31,3%). amoxicillin sebanyak 14 kasus (14.1%), ampicillin 12 kasus (12.1%), ciprofloxacin 5 kasus (5,1%) dan ceftriaxone 3 kasus (3%). Berdasarkan fever clearance time masing-masing ceftriaxone mengalami waktu bebas panas yang paling cepat yaitu 2,67 hari. Untuk antibiotik lainnya secara berturut-turut cefotaxime 3,45 hari, ciprofloxacin 3.60 hari, chloramphenicol 3,88 hari, ampicillin 3,92 hari dan amoxicillin 4,36 hari.
Dari hasil penelitian, dapat diambil kesimpulan bahwa chloramphenicol masih efektif dalam melawan demam tifoid/ paratifoid, meskipun begitu perlu dilakukan penelitian Iebih lanjut mengenai antibiotik lain yang lebih efektif melawan Salmonella, lebih murah harganya, Iebih singkat durasi terapinya dengan dosis lebih kecil serta efek samping yang minimal. Selain itu, dipertukan kehati-hatian dalam menegakkan diagnosis demam paratifoid untuk menghindari salah diagnosis. Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang tepat dari dapat meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini, walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis. Hasil penelitian ini tidak dapat digunakan sebagai diagnosis tunggal namun cukup berharga sebagai alat bantu penemuan tifoid/ paratifoid non komplikata sekaligas membantu memahami karakteristik antibiotik pilihan terapi penyakit ini.
Collections
- UT-Faculty of Medical [1487]