dc.description.abstract | Kepemilikan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat mengalami peningkatan yang tajam di Indonesia. Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor menyebabkan meningkatnya pula kebutuhan akan BBM. Konsumen bisa membeli BBM di SPBU maupun secara eceran di toko yang menjual BBM. Sebelum tahun 2003, BBM di Indonesia masih menggunakan timbal (Pb) untuk meningkatkan nilai oktan, namun karena Pb adalah bahan yang karsinogenik, maka pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri No 1585/K/32/MPE/1999 yang menyebutkan penghapusan Pb secara bertahap dan mengganti dengan senyawa benzena. Penghapusan Pb dan menggantinya dengan senyawa benzena tidak serta merta menghilangkan bahan karsinogenik yang ada pada BBM. Benzena ternyata memiliki efek yang tidak kalah berbahaya pada seseorang yang terpapar benzena dengan cara menghirupnya. Semua SPBU di Indonesia wajib menaati kebijakan Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi N0.312/K/DMJ.T/2013 yakni terdapat batasan standar bahan kimia yang terkandung dalam BBM, tak terkecuali SPBU di Kecamatan Panji dan Kecamatan Situbondo, Kabupaten Situbondo. BBM di kedua SPBU tersebut mengandung senyawa benzena yang dapat mengganggu kesehatan operator SPBU. Permasalahan yang ditimbulkan adalah seringkali pihak manajemen SPBU mengabaikan dampak yang ditimbulkan oleh senyawa benzena terhadap kesehatan operator SPBU seperti pusing, mual, tidak nafsu makan, mudah lelah, sulit berkonsentrasi, mudah lupa. Jika hal ini dibiarkan tanpa ada upaya pencegahan, bukan tidak mungkin operator akan mengalami gangguan kesehatan yang lebih serius seperti iritasi kulit, gangguan hati, darah, sistem metabolisme, dan sistem ekskresi urin. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan profil darah operator SPBU yang terpapar oleh senyawa benzena. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Sampel penelitian ini adalah operator di SPBU Mimbaan dan SPBU Karang Asem yang berjumlah 24 orang. Pengambilan data dilakukan dengan tehnik wawancara, observasi, dokumentasi dan pengukuran profil darah operator. Kemudian data diolah secara deskriptif yaitu dalam bentuk tabel dan teks.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 45,8% operator berusia pada rentang 18-24 tahun, 87,5% operator memiliki masa kerja dengan rentang >1-5 tahun, 70,8% operator memiliki kebiasaan merokok dan 100% operator tidak menggunakan APD untuk melindungi diri dari paparan senyawa benzena. Hasil uji profil darah operator yang dilakukan oleh perawat Puskesmas Situbondo menunjukkan bahwa 58,3% operator memiliki kadar Hb tidak normal, 58,3% operator memiliki kadar eritrosit tidak normal, 12,5% operator memiliki kadar trombosit tidak normal, 8,3% operator memiliki kadar leukosit tidak normal, 8,3% operator memiliki kadar trombosit dan eritrosit tidak normal dalam waktu yang sama dan 4,2% operator memiliki kadar trombosit, eritrosit dan leukosit tidak normal dalam waktu yang sama.
Berdasarkan hasil analisis crosstab antara usia, masa kerja, kebiasaan merokok, penggunaan APD dan profil darah operator menunjukkan bahwa 58,3% operator memiliki kadar Hb tidak normal, 58,3% operator memiliki kadar eritrosit tidak normal, 12,5% operator memiliki kadar trombosit tidak normal, 8,3% operator memiliki kadar leukosit tidak normal, 8,3% operator memiliki kadar trombosit dan eritrosit tidak normal dalam waktu yang sama dan 4,2% operator memiliki kadar trombosit, eritrosit dan leukosit tidak normal dalam waktu yang sama. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan kajian kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi selaku instansi yang mengawasi tenaga kerja baik formal maupun informal, dan bekerja sama dengan Dinas Kesehatan untuk mengawasi kesehatan masyarakat dan melakukan pembinaan kepada pihak manajemen SPBU, sehingga efek jangka panjang akibat paparan benzena di SPBU dapat teratasi. | en_US |