dc.description.abstract | Kerajaan Mataram Islam berdiri tahun 1586. Kerajaan Mataram merupakan suatu kerajaan yang sangat kuat kekuasaanya atas Pulau Jawa sebelum mengalami perpecahan dalam persetujuan Giyanti pada 13 Februari 1755. Perjanjian Giyanti adalah kesepakatan antara VOC, pihak Mataram (diwakili oleh Sunan Pakubuwana III), dan pihak pemberontak dari kelompok Pangeran Mangkubumi yang menjadi solusi bagi salah satu kerusuhan yang terus terjadi di Mataram. Perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 ini secara de facto dan de jure menandai memudarnya Kerajaan Mataram. Nama Giyanti diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian ini, yaitu di Desa Giyanti (ejaan Belanda, sekarang tempat itu berlokasi di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo), di tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah. Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi dua: wilayah di sebelah timur Kali Opak (melintasi daerah Prambanan sekarang) dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III) dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah di sebelah barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat klausul, bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah jika diperlukan. Gambar lokasi penandatanganan Perjanjian Giyanti dapat dilihat pada lampiran halaman 77.
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1)bagaimana dinamika Kasultanan Yogyakarta pasca perjanjian Giyanti tahun 1755-1830; (2)bagaimana dinamika Kasunanan Surakarta pasca perjanjian Giyanti tahun 1755-1830.
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk menganalisis dinamika dalam bidang politik, agama maupun dalam bidang kebudayaan yang terjadi Kasultanan Yogyakarta pasca perjanjian Giyanti tahun 1755-1830; (2) untuk menganalisis dinamika Kasultanan Yogyakarta pasca perjanjian Giyanti tahun 1755-1830 baik dalam bidang politik, agama maupun dalam bidang kebudayaan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah yaitu (Heuritik, Kritik, Interpretasi, dan Historiografi).
Kesimpulan dari hasil penelitian: (1) dinamika Kasultanan Ngayogyakarta pasca Perjanjian Giyanti tahun 1755-1830 sangat terlihat jelas, karena adanya pengaruh dari luar yakni karena campur tangan VOC sehingga menyebabkan banyak perubahan dalam bidang politik, agama maupun kebudayaan. Selain perubahan, Kasultanan Ngayogyakarta mengalami perkembangaan pesat dalam bidang miiter pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono II; (2) dinamika Kasunanan Surakarta pasca Perjanjian Giyanti tahun 1755-1830 terlihat dari perkembangan pesat dalam bidang agama dan kebudayaan. Perubahan pemerintahan di Kasunanan Surakarta selain karena pengaruh VOC, juga sempat mendapat pengaruh dari Inggris yakni pada masa pemerintahan Pakubuwono IV.
Saran yang dapat diberikan oleh peneliti untuk berbagai pihak diantaranya: (1) bagi mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber belajar mengenai sejarah dinamika Kerajaan Mataram Islam pasca Perjanjian Giyanti; (2) bagi akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambahkan dan mengembangkan penelitian mengenai dinamika Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pasca Perjanjian Giyanti dalam sejarah bangsa Indonesia lainnya; | en_US |