dc.description.abstract | Globalisasi yang menimbulkan krisis multidimensional telah mempengaruhi
perkembangan kepribadian manusia berupa krisis identitas dalam diri individu,
kelompok dan masyarakat. Keterjebakan dalam pola hidup yang serba praktis bahkan
pragmatis, pengabaian orientasi ukhrawi (akhirat) dan hanya berorientasi duniawi,
telah semakin menyeret manusia ke dalam kubangan kerakusan, ketamakan,
keserakahan, dan kesombongan. Akar-akar nilai dan keyakinan semakin tercerabut
dari jiwa manusia, bahkan akhirnya manusia hidup semata-mata mengejar sesuatu
yang bercorak pragmatis.
Manusia diciptakan dengan kemampuan intelektualnya yang membedakannya
dengan makhluk hidup lain. Manusia dibekali dengan akal pikiran sehingga ia
menyadari keberadaannya dan menjadi cemas akan keterbatasan dan ketiadaan.
Keberadaan yang disebabkan oleh kecemasan inilah yang menjadi perhatian
eksistensialisme. Eksistensialisme mencoba mengembalikan persoalan pada
eksistensinya, dimana titik sentralnya adalah manusia. Eksistensi pada manusia
adalah cara manusia berada di dunia ini.
Eksistensi dapat dimunculkan di mana saja termasuk dalam seni dan filsafat.
Eksistensi dalam filsafat yakni tujuan dari filsafat itu sendiri yang bukanlah
merupakan ilmu pengetahuan melainkan pencarian suatu citra manusia, di mana
manusia memiliki visi dalam hidupnya yang dapat dipertanggung-jawabkan. Filsafat
bermaksud agar “aku” mengenal kembali dirinya dalam semua yang diajarkan
mengenai hidup manusia. Sedangkan dalam seni, seperti yang kita ketahui bahwa seni
adalah jiwa, perasaan hati yang diungkapkan. Dimana seorang seniman tidak hanya
mengungkapkan perasaannya sendiri tetapi juga menyangkut apa yang ia ketahui
tentang perasaan manusia. Seni juga merupakan perwujudan nilai-nilai, di mana
seniman menyampaikan sikap penilaiannya lewat karya-karyanya pada orang lain.
Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang menarik bila kita dapat
mengungkapkan nilai/makna suatu karya seni, misalnya karya seni sastra. Sastra
dapat dikatakan sebagai cerminan masyarakat, tetapi tidak berarti struktur masyarakat
seluruhnya tergambarkan dalam sastra, yang didapat di dalamnya adalah gambaran
masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang
terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial, seperti lingkungan bangsawan,
penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya. Sastra sebagai gambaran
masyarakat bukan berarti karya sastra tersebut menggambarkan keseluruhan warna
dan rupa masyarakat yang ada pada masa tertentu dengan permasalahan tertentu pula.
Novel merupakan salah satu di antara bentuk sastra yang paling peka terhadap
cerminan masyarakat. Dilihat dari segi penggunaan bahasanya, yaitu bentuk konotatif
dan metaforis, novel juga merupakan genre yang tepat untuk menyajikan masalahmasalah
sosial
dengan
berbagai
dimensinya.
Penelitian yang berjudul Representasi Sosial Budaya atas Eksistensi Muallaf
dalam Novel If I Should Speak
ini bertujuan untuk untuk menemukan bagaimana
representasi sosial budaya atas eksistensi muallaf dalam novel If I Should Speak
.
Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif yang berpangkal pada interpretasi
terhadap teks. Adapun metode analisis yang digunakan untuk melakukan analisis
yaitu dengan menggunakan model analisis wacana dari Teun A. van Dijk. Metode
analisis yang digunakan agar dapat mencapai makna yang ingin digali oleh penulis.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa dalam novel
ini pengarang menggambarkan dengan jelas adanya stigma buruk tentang agama
Islam yang digambarkan media bahwa ajaran Islam menindas perempuan dan jihad
itu identik dengan terorisme. Karena stigma inilah muncul Islamphobia di manamana.
Warga muslim dijauhi, dikucilkan, dan bahkan diperlakukan secara tidak adil
oleh warga non-Muslim. | en_US |