PEMANFAATAN MODAL SOSIAL PETANI GUREM DALAM MEMPEROLEH LAHAN AGROFORESTRI PERUM PERHUTANI (Studi Deskriptif Pengelolaan Lahan Kayu Putih BKPH Sukun di Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo)
Abstract
Perhutani BKPH (Bagian Kesatuan Pemangku Hutan) Sukun menerapkan
pemberdayaan lahan kayu putih dengan menggunakan sistem agroforestry dengan
metode tumpangsari sebagai upaya untuk menyediakan akses bagi petani kalangan
menengah ke bawah untuk menjangkau sumber – sumber ekonomi sehingga
terwujudnya kehidupan yang sejahtera. Adanya LMPSDH (Lembaga Masyarakat
Pengelola Sumber Daya Hutan) yang merupakan paguyuban petani hutan atau
pesanggem sekaligus mitra Perhutani. Guna mendapat hak kelola lahan tumpang sari,
petani gurem menggunakan jaringan yang dimilikinya di LMPSDH untuk
dihubungkan ke Perhutani.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemanfaatan modal sosial
petani gurem untuk menjadi pesanggem yang mendapatkan hak pengelolaan atas
lahan Perum Perhutani dan menganalisa unsur modal sosial antara Perhutani dengan
petani pengguna lahan tumpangsari mengenai pengolahan lahan dan kontrak lahan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan
jenis penelitian studi deskriptif. Teknik penentuan informan menggunakan teknik
purposive. Metode pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan
dokumentasi. Setelah data terkumpul kemudian dianalisis, dalam menguji keabsahan
data penelitian ini menggunakan teknik triangulasi yang menggabungkan teknik
triangulasi sumber data.
Pada pemanfaatan modal sosial petani gurem untuk mendapatkan hak kelola,
terdapat tahapan interaksi jaringan tumpangsari yang terdiri dari linking, bridging,
ix
dan bonding. Tahapan linking merupakan tahap di mana petani gurem memanfaatkan
jaringannya terhadap LMPSDH sebagai pihak yang memiliki sumber berupa relasi
ke Perhutani. Pada tahap bridging, LMPSDH menghubungkan kepentingan petani
gurem terhadap hak kelola lahan kepada Perhutani. Sedangkan tahap bonding terjadi
ketika petani gurem menjadi bagian dari LMPSDH dan mendapatkan hak kelola
lahan sehingga Perhutani memandang petani gurem yang telah menjadi pesanggem
menjadi satu – kesatuan dengan LMPSDH.
Terdapat unsur – unsur pembentuk modal sosial pada relasi lahan
tumpangsari. Pertama, partisipasi petani untuk menjadi pesanggem dalam program
lahan tumpangsari. Kedua, resiprositas dari hubungan yang terjalin antar aktor di
dalam interaksi lahan tumpangsari agar terus bergerak mencapai tujuan. Ketiga, nilai
mengenai kemanfaatan bersama terhadap hutan dan kelestariannya. Keempat, norma
yang berupa kontrak perjanjian tanaman mengenai aturan pengelolaan lahan
tumpangsari. Kelima, kepercayaan sebagai hasil interaksi yang berlangsung dalam
jangka yang lama sehingga Perhutani mempercayakan LMPSDH untuk merekrut
petani untuk menjadi pesanggem. keenam, tindakan proaktif berupa menjalin relasi
terhadap Dinas Perhutani untuk dapat mengakses bantuan berupa pupuk subsidi.
Berdasarkan kesimpulan dari penelitian ini, penulis memberikan saran terkait
LMPSDH yaitu peningkatan kerjasama terhadap Dinas Pertanian terkait metode dan
teknologi pertanian guna meningkatkan hasil panen. Selain itu perlu adanya
koordinasi mengenai pemasaran hasil panen anggota LMPSDH guna mengendalikan
harga hasil pertanian sehingga tidak berdampak pada rendahnya harga jual hasil
pertanian yang menyebabkan kerugian pada pesanggem.