STUDI FITOKIMIA IRVINGIA MALAYANA SEBAGAI ANTIMALARIA DARI HUTAN MERU BETIRI DALAM RANGKA DRUG DISCOVERY
Abstract
Meru betiri adalah hutan di daerah Kabupaten Jember yang banyak mengandung tanaman obat. Salah satunya adalah tanaman Irvingia malayana (Pauh Kijang) yang telah terbukti berdasarkan penelitian sebagai antimalaria. Pada penelitian yang dilakukan oleh Chairul dan Pratiwi (2008) ekstrak dari tanaman Irvingia malayana memberikan pengaruh antimalaria cukup signifikan pada Plasmodium berghei. Informasi ilmiah lainnya menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun tumbuhan Pauh Kijang (konsentrasi 10 μg/mL) memiliki efek farmakologi sebagai antimalaria dengan hambatan sebesar 95% terhadap Plasmodium falciparum FcB. Namun studi fitokimia dengan mengisolasi tanaman Irvingia malayana belum pernah dilakukan, sehingga belum diketahui pasti senyawa aktif mana yang bermanfaat sebagai antimalaria. Pada penelitian ini dilakukan suatu pencarian obat baru (Drug Discovery) untuk antimalaria melalui studi fitokimia dengan cara mengisolasi akar, batang dan daun tanaman Irvingia malayana. Dari studi fitokimia akan didapatkan senyawa tunggal murni yang akan diidentifikasi struktur dan diuji aktivitasnya sebagai antimalaria baik in vitro maupun in vivo. Identifikasi stuktur dilakukan dengan FTIR, NMR, maupun GC-MS. Dari hasil analisis di Tahun I menggunakan FTIR, H-NMR, dan GC-MS maka disimpulkan senyawa hasil isolasi merupakan senyawa terpenoid pada batang pada ekstrak etil asetat dan kemungkinan golongan silimarin seperti halnya tanaman lain dalam genus Irvingia. Untuk jarak lebur senyawa yaitu 120-121oC. Hasil penelitian menunjukkan dugaan golongan silimarin karena berupa kristal putih yang hampir sama satu golongan genus Irvingia. Untuk tahap selanjutnya di tahun II dilakukan uji aktivitas antimalarial secara in vitro dan in vivo. Pada Uji in vivo berdasarkan analisis anova one way menunjukkan bahwa masing masing kelompok berbeda bermakna. Hal ini dikarenakan data biologis in vivo memberikan hasil yang cukup kompleks. Untuk uji probit didapatkan IC50 masing masing hari pada derajat parasetemianya. Pada hari 4 setelah pemberian menunjukkan IC50 yaitu 11,827 mg/kgBB dibandingkan hari 3 (6,927 mg/kgBB) yang artinya aktivitas malarianya lebih baik pada hari 3 daripada hari 4. Oleh karena itu pada hari ke 3 adalah maksimal lama pemberian yang memberikan efek maksimum daripada hari selanjutnya dalam menurunkan plasmodiumnya. Dengan demikian dari dosis IC50 6,927 mg/kgBB menunjukkan sangat baik aktivitasnya sebagai antimalaria berdasarkan klasifikasi uji antimalaria. Dari hasil uji in vitro setelah dilakukan analisis probit didapatkan IC50 isolat Irvingia malayana yaitu 62,855 μg/ml dimana dapat disimpulkan berdasarkan klasifikasinya memiliki aktivitas antiplasmodium lemah. Jika dibandingkan kontrol positif klorokuin aktivitasnya lebih kecil karena IC50 klorokuin 1,114x10-3 μg/ml. Berdasarkan data uji aktivitas in vivo dan in vitro antimalaria menunjukkan bahwa isolat kurang memberikan aktivitas antimalaria meskipun pada uji in vivo dengan menggunakan jenis plasmodium yang sama pada ekstrak Irvingia malayana menunjukkan hasil yang cukup signifikan dalam menurunkan jumlah plasmodiumnya dikarenakan pada ekstrak yang terdiri dari komponen yang cukup banyak kemungkinan ada mekanisme kerja obat antimalaria secara sinergisme dibandingkan isolat yang terdiri dari senyawa tunggal.
Collections
- LRR-Hibah Bersaing [348]