Retorika dalam Adat-istiadat Pernikahan Masyarakat Madura di Desa Mengok Kecamatan Pujer Kabupaten Bondowoso
Abstract
Retorika dalam adat-istiadat Masyarakat Madura di Desa Mengok
merupakan fakta unik yang membutuhkan kajian secara ilmiah. Peneliti
mengadakan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana bentuk dan maksud dar i
retorika yang digunakan oleh masyarakat di Desa Mengok. Retorika adalah
sebuah teknik pembujuk rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan
melalui karakter pembicara, emosional atau argumen. Secara umum Retorika
adalah seni memanipulasi atau teknik persuasi politik yang bersifat transaksional
dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan
pendengar melalui pidato.
Dalam penelitian ini digunakan tiga tahap penelitian, yaitu: 1) tahap
penyediaan data, 2) tahap analisis data, dan 3) tahap penyajian hasil analisis data.
Metode yang digunakan dalam tahap penyediaan data, yaitu metode simak dan
metode cakap. Metode simak digunakan untuk memperoleh data berupa rekaman
dan tulisan. Metode cakap digunakan untuk memperoleh faktor-faktor yang
mempengaruhi masyarakat dalam penggunaan retorika. Tahap yang kedua adalah
tahap analisis data. Analisis data digunakan untuk menganalisis data, dilakukan
dengan mengelompokkan kalimat penutur kemudian dilanjutkan dengan
mendeskripsikan makna dan penggunaannya. Tahap terakhir dalam penelitian ini
adalah tahap penyajian analisis data. Metode penyajian hasil analisis data ada dua,
yaitu metode formal dan informal.
Adat pernikahan yang digunakan oleh masyarakat Madura di Desa
Mengok, terdiri atas lima tahap yaitu, tahap nylabhâr, tahap mintah, tahap
tompengan, tahap maên toah, dan tahap noro’ patoh. Penggunaan retorika hanya
ditemukan pada tahap nylabhâr dan mintah, Pada tahap nylabhâr penutur
menggunakan kata “bu-obu’enah” [bu ͻbu?әna] „peliharaan‟ dan “èssèna
korongngah“ [ɛssɛna kͻrͻŋŋah] „isi kurungan‟, untuk menggantikan kata anak dari lawan tuturnya. Penutur juga menggunakan kata “nyongngo’ah” [ñͻŋŋͻ?a]
„melihat‟ untuk menggantikan kata mengenalkan atau berkenalan dengan
anaknya. “èssèna korongngah“ [ɛssɛna kͻrͻŋŋah] „isi kurungan‟ yaitu anak
perempuan yang masih perawan. Penutur menggunakan kata „dikeluarkan dan
dilepas‟ untuk mengutarakan maksud kedatangannya sekaligus memohon izin
untuk membawa pulang calon menantunya ketika sudah mendapatkan persetujuan
dan kecocokan dalam musyawarah keluarga.penutur menggunakan kata
“menyettongngah” [mәñɛttͻŋŋah] „disatukan‟ dengan maksud mengutarakan
keinginan untuk menjadi satu keluarga. Pada tahap mintah penutur menggunakan
kata “pasrah” [pasrah] „pasrah‟ dalam menyampaikan maksud pada lawan
tuturnya. penutur menggunakan kalimat “èkapotra’ah” [ɛkapͻtra?ah] „dijadikan
anak‟ untuk menyampaikan maksud yaitu menjadi menantu. Penutur
menggunakan kata “nginep” [ŋinәp] „nginep‟ untuk menyampaikan maksud
pulang ke rumah baru. Penutur menggunakan kata “ajhâlân” [aj
h âlân] „berjalan‟
dengan maksud keluar bersama dengan tujuan mengenalkan kepada masyarakat.