dc.description.abstract | TERKAIT dengan tulisan sebagai wujud ekspresi dan simbol bahasa manusia,
Allbutt, pada awal abad XX sebagaimana seringkali dikutip banyak ilmuwan
(Beveridge, 1957, Semangun, 1992) mengemukakan mutiara kata yang terlalu penting
untuk diabaikan: slovenly writing reflects slovenly thinking, and abscure writing
usually confused thinking. Hal ini berlaku untuk semua bidang keilmuan, tidak
terkecuali bidang ilmu keagamaan. Di bidang ilmu keagamaan, hanya intelektual yang
memiliki keruntutan berfikir keagamaan sistematislah yang dapat menulis essai atau
risalah keagamaan dengan baik. Hal itu berarti, untuk menjadi penulis yang disenangi
dan diburu pembacanya, seorang penulis keagamaan harus memahami a-b-c-nya
penulisan, yakni accurate, brief, dan clear.
Bagi penulis risalah atau essai keagamaan yang demikian, karya tulis pada
akhirnya menjadi medium dakwah yang bobot dan nilainya jauh melebihi jenis
dakwah lainnya. Sebab dibanding dakwah yang diucapkan atau dipidatokan (bil-lisan)
dan dakwah melalui perbuatan (bil-hal/bil-amal), hanya dakwah lewat tulisan (bilqalam)
yang paling terbuka terhadap kritik maupun uji ulang, terjaga dari kekeliruan
dan paling mudah diulang serta diteruskan mengingat sifatnya yang referensif. Namun
begitu, bukan berarti dakwah melalui tulisan lebih baik atau lebih efektif dibanding
yang lain, sebab kekuatan sebuah tulisan sangat bergantung pada banyak hal. Satu di
antaranya ialah pada kemampuan penulisnya dan seberapa jauh apresiasi pangsa
pembacanya. | en_US |