PERBEDAAN KADAR SGOT PADA SINDROMA KORONER AKUT DI RSD DR. SOEBANDI JEMBER
Abstract
Sindroma Koroner Akut (SKA) adalah sebuah kondisi yang melibatkan ketidaknyamanan dada, nyeri dada (chest pain), atau gejala lain yang disebabkan oleh kurangnya oksigen ke otot jantung (miokardium). Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan salah satu manifestasi klinis Penyakit Jantung Koroner (PJK) selain Stable Angina (Angina Pektoris Stabil). Namun SKA memiliki prognosis yang lebih buruk dibanding Angina Pektoris Stabil karena bersifat progresif dan pada perjalanan penyakitnya sering terjadi perubahan secara tiba-tiba dari keadaan stabil menjadi keadaan tidak stabil atau akut serta paling sering mengakibatkan kematian. Sindroma Koroner Akut terdiri dari angina pektoris tidak stabil (APTS) atau unstable angina (UA), Non-ST elevation myocardial infarction (NSTEMI), dan ST elevation myocardial infarction (STEMI).
Mekanisme terjadinya SKA disebabkan oleh proses pengurangan pasokan oksigen akut atau subakut dari miokard, yang dipicu oleh adanya robekan plak aterosklerotik dan berkaitan dengan adanya proses inflamasi, trombosis, vasokonstriksi, dan mikroembolisasi yang berujung pada infark miokard. Infark pada miokard menyebabkan dikeluarkannya enzim-enzim yang menjadi penanda biokimiawi jantung, salah satunya adalah enzim transaminase SGOT. Enzim ini tidak spesifik sebagai penanda kelainan pada jantung, tetapi kadarnya meningkat pada infark miokard sehingga dapat terdeteksi dalam sirkulasi. Oleh karena itu, perlu diketahui berapakah kadar SGOT pada SKA untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar SGOT yang terjadi pada masing-masing kelompok SKA tersebut. Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi dan ilmu pengetahuan bagi masyarakat, sehingga dapat mengatur pola hidup untuk
menghindari serangan jantung yang merupakan manifestasi SKA dan menjadi pedoman untuk sarana diagnostik biomarker SKA dalam melaksanakan tindakan prevensi yang tepat sehingga insidensi kematian karena SKA dapat diturunkan.
Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan menggunakan desain studi cross sectional. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari rekam medis pasien SKA yang terdapat pada RSD dr. Soebandi Jember pada bulan Agustus-Oktober 2015. Data diambil dari Ruang Rekam Medis Rawat Inap RSD dr. Soebandi Jember dan menghasilkan 16 sampel untuk masing-masing kelompok (UA, NSTEMI, dan STEMI). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji komparatif non parametrik Kruskal-Wallis dengan analisis Post Hoc menggunakan uji Mann-Whitney.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok UA, kadar SGOT masih berada pada rentang nilai normal dengan rata-rata sebesar 27,50 ±9,675 U/L. Berbeda dengan rata-rata kadar SGOT pada kelompok NSTEMI dan STEMI yang menunjukkan adanya peningkatan yaitu sebesar 65,88 ±39,007 U/L dan 162,38 ±95,759 U/L. Berdasarkan uji Kruskal-Wallis didapatkan nilai signifikansi p=0,000<0,05. Interpretasi dari data tersebut adalah terdapat perbedaan kadar SGOT yang signifikan antara dua kelompok pada SKA. Kemudian dilakukan analisis Post Hoc dengan menggunakan uji Mann-Whitney antara kelompok UA dengan NSTEMI dengan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05), kelompok UA dengan STEMI dengan nilai signifikansi p= 0,000 (p<0,05), dan kelompok NSTEMI dengan STEMI dengan nilai signifikansi p= 0,002 (p<0,05). Maka dapat disimpulkan bahwa seluruh kelompok (UA dengan NSTEMI, UA dengan STEMI, dan NSTEMI dengan STEMI) mempunyai perbedaan kadar SGOT yang berbeda secara signifikan karena seluruhnya memiliki nilai p kurang dari 0,05.
Collections
- UT-Faculty of Medical [1487]