FENOMENA KEBERHASILAN BURUH TANI DALAM MENINGKATKAN TARAF KESEJAHTERAAN KELUARGA (Studi Kasus pada Keluarga Buruh Tani di Desa Ledokombo Kecamatan Ledokombo Kabupaten Jember)
Abstract
Bagi kaum buruh secara umum bekerja keras dengan fisik (tenaga) dan
upah adalah syarat yang tidak bisa diganggu gugat agar bisa tetap bertahan hidup,
kaum buruh juga sebenarnya telah sadar jika dalam prooses pekerjaanya tersebut
terkadang sering terjadi berbagai ketidak adilan yang telah dirasakan, mulai dari
upah yang sangat minim hingga pada jam kerja yang tinggi dari sang majikan, hal
ini terbukti dari berbagai kerusuhan demo hingga pembentukan sebuah organisasi
perkumpulan bagi kaum buruh yang senyatanya sudah kerapkali masuk
keberbagai media massa, dengan posisi kaum buruh yang kurang beruntung
seperti ini, maka tidak sedikit dari mereka memiliki tingkat perekonomian yang
sangat memprihatinkan, tidak terkecuali dengan nasib para buruh tani yang ada di
wilayah pedesaan pada khususnya.
Buruh tani adalah seorang pekerja di lahan pertanian milik para petani,
pada umumnya kehidupan mereka secara ekonomi lebih parah dari kondisi buruh
yang ada atau bekerja di sektor non agraris (yang mayoritas bekerja di dunia
industri atau pertokoan). Sebab, pekerjaan sebagai buruh tani bukan merupakan
pekerjaan yang tergolong jenis kontrak panjang yang setiap harinya juga pasti ada,
akan tetapi merupakan jenis pekerjaan panggilan atau kondisional yang secara
waktu serta kepastian pekerjaannya sangat bergantung pada kebutuhan atau
kehendak para petani yang mau menggunakan jasanya, apalagi di pihak lain
proses tumbuhnya tanaman mulai dari masa tanam hingga masa panen
(berlansung di setiap lahan garapan baik sawah atau tegalan) lebih banyak
membutuhkan waktu tunggu (yakni sekitar 3-4 bulan hingga pada masa panen)
dibandingkan pekerjaan yang tinggi.
Sebagai salah satu wilayah yang tergolong agraris dengan produktifitas
tinggi dan sering menghasilkan kualitas panen terbaik disalah satu bidang
tanaman yakni tembakau, cengkeh, dan padi kota Jember tentunya juga memiliki
komposisi penduduk terbanyak yang berprofesi sebagai petani berikut buruh
taninya, terutama untuk beberapa daerah yang tergolong pedesaannya.
berdasarkan hasil sensus pertanian (SP) no; 200326 yang dilaksanakan oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) telah diperoleh data bahwa pada tahun 2003 jumlah rumah
tangga yang berkerja sebagai petani mengalami peningkatan 1,7% pertahun,
dimana data ini merupakan data hasil evaluasi BPS dari tahun 1993 hingga tahun
2003 dengan perincian, dari 20,5 juta keluarga pada tahun 1993 setiap tahun
meningkat hingga pada tahun 2003 ada 24,4 juta keluarga tani.
(www.jember.pdf.com)
Berdasaran hasil pengamatan yang dilaksanakan peneliti di beberapa
daerah pedesaan yang ada di kota Jember, kondisi keluarga buruh tani dapat di
gambarkan sangat memperihatinkan, dimana pada umumnya mereka masih
memiliki rumah dari bambu atau “gedek” dengan lantai tanah, serta mengalami
latar belakang pendidikan yang belum memadai baik untuk dirinya sendiri
ataupun keluarganya. Hasil pengamatan ini juga diperkuat dengan data dari Badan
Pusat Statistik (BPS) kabupaten Jember pada tahun 2007 yang menyatakan jika
jumlah penduduk miskin tercatat 37,2 juta jiwa dan 63,4% dari jumlah tersebut
berada di perdesaan dengan mata pencaharian utama di sektor pertanian (buruh
tani dan petani ) sementara 36,6% berada pada skala usaha mikro yang memiliki
luas lahan garapan lebih kecil dari 0,3 hektar.
(http://mahasiswasyariah.wordpress.com)
Sementara itu dari data kondisi kemiskinan yang di ukur melalui indicator
yang lebih khusu pada tahun 2010, Badan Pusat Statistik kota jember juga
mencatat jika ada 237.700 keluarga tercatat sebagai keluarga miskin. Dengan
rincian: 34.654 keluarga sangat miskin, 93.550 keluarga miskin, dan 104.496
keluarga nyaris miskin dan hampir 98 % dari penduduk yang tercatat pada
golongan indicator klasifikasi kemiskin tersebut bekerja sebagai buruh terutama
buruh tani di wilayah pedesaan.
(http://www.beritajatim.jember.com/detailnews.php)
Data perolehan di atas menjadi sangat wajar jika mengingat bahwa setiap
keluarga yang hidup di masyarakat pada hakekatnya memiliki kebutuhan dasar
yang tidak bisa di tunda yaitu kebutuhan akan pangan (sebagai kebutuhan pokok)
yang pada sifatnya merupakan penunjang untuk kelangsungan hidup mereka.
Kebutuhan pangan tersebut meliputi beras atau makanan pokok, lauk pauk,
(daging, ikan dan sejenisnya) sayur-mayur, buah-buahan, gula, kopi, minyak
goreng, serta keperluan dapur lainnya. Selain kebutuhan pangan juga masih ada
kebutuhan lain yang harus juga pastinya dipenuhi oleh sebuah keluarga pada
umumnya, yakni kebutuhan sandang dan biaya anak sekolah, jika setiap
kebutuhan tersebut harus dibeli dengan uang hasil dari bekerja sebagai buruh tani,
semantara dari hasil survey penelitian pendapatan rata-rata buruh tani dalam satu
hari yang diperoleh hanya sebesar Rp.15.000 hingga Rp. 17.000, sementara dalam
satu hari dirinya harus mengeluarkan sejumlah belanja sampai Rp.27.000 untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya dengan perincian ; beras 1kg per hari dengan
keluarga Rp.5000, sayur dan lauk pauk per hari sekitar Rp.3000, minyak tanah
sekitar 1ltr per hari dengan harga Rp.4000, minyak goreng ¼ kg per hari dengan
harga Rp.8000, bumbu per hari sekitar Rp.4000, dan tambahan lain Rp.3000.
maka pendapatan keluarga buruh tani yang sangat minim tersebut tentunya tidak
akan mencukupi.
Namun demikian, di salah satu sudut terpencil di kota Jember yakni di
desa Ledokombo, Kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember ada beberapa
fenomena kehidupan buruh tani yang sedikit berbeda jika dibandingkan dengan
kehidupan para buruh pada umumnya, yang secara ekonomis mereka sudah
tergolong mapan atau dalaman pemahaman memiliki tingkat perekonomian yang
sedikit lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya, dimana hal ini secara
sepintas terlihat dari pola hidup yang berkembang, mulai dari perhatian mereka
pada kualitas dan kemajuan pendidikan putra-putrinya sebagai tolak ukur
kesuksesan mereka menjadi orang tua yang baik, hingga pada kemampuan
ekomomi untuk membeli tanah sendiri, serta membangun fasilitas fisik rumah
berikut peralatan teknologi yang dimiliki secara pribadi di kediamannya berupa
sepeda motor dan lain sebagainya.