dc.description.abstract | Diabetes melitus (DM) atau kencing manis merupakan salah satu penyakit
yang prevalensinya terus meningkat. Pada tahun 2000, Indonesia menduduki
peringkat keempat dalam jumlah penderita DM terbesar di dunia yaitu mencapai 8,4
juta penderita. Angka tersebut diprediksi akan terus bertambah menjadi 350 juta jiwa
pada tahun 2020. DM merupakan penyakit kronik dimana penderita mengalami
kelebihan kadar glukosa darah. Secara garis besar DM terbagi menjadi dua kelompok
besar, yaitu DM tipe I dan DM tipe II. DM tipe I seringkali ditemukan pada anakanak.
Pada DM tipe I tubuh gagal memproduksi insulin karena kerusakan sel beta
pankreas. Pada DM tipe II terjadi resistensi insulin pada tubuh dan juga defisiensi
relatif insulin. Kelebihan kadar glukosa darah dalam tubuh akan menyebabkan
berbagai komplikasi yang berbahaya pada berbagai jaringan tubuh yang dapat bersifat
akut maupun kronis.
Terapi untuk mengatur kadar glukosa darah diperlukan agar tidak terjadi
komplikasi pada jaringan tubuh. Salah satu terapi yang menjadi pilihan saat ini adalah
glibenklamid. Glibenklamid bekerja dengan cara merangsang sel beta Langerhans
pankreas untuk memproduksi insulin. Selain dengan obat-obatan, diabetes melitus
juga dapat diatasi dengan pengobatan menggunakan tanaman berkhasiat obat.
Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai obat diabetes adalah pare
(Momordica charantia). Pare memiliki beberapa zat aktif yang diketahui memiliki
efek antihiperglikemik antara lain, charantin dan polypeptide-p. Charantin bekerja
dengan cara mengaktivasi AMP-activated protein kinase (AMPK) yang nantinya
akan meningkatkan sintesis glikogen dan juga meningkatkan uptake glukosa pada sel
hati dan otot. Sedangkan polypeptide-p merupakan senyawa analog insulin yang
kerjanya sama dengan insulin.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan
rancangan pretest-post test with Control group design. Jumlah sampel yang diteliti
sebanyak 25 ekor tikus wistar jantan berusia 2-3 bulan dengan berat badan rata-rata
150-200 gram. Sebelum dilakukan perlakuan tikus diadaptasikan terlebih dahulu
selama 7 hari. Setelah itu dilakukan randomisasi dengan membagi hewan coba ke
dalam 5 kelompok, masing-masing 5 tikus yaitu kelompok perlakuan 1 (K1) yang
diberikan pakan standar; kelompok perlakuan 2 (K2) yang diberikan injeksi aloksan
125mg/kgBB i.p dan pakan standar; kelompok perlakuan 3 (K3) yang diberikan
injeksi aloksan 125mg/kgBB i.p, diberikan ekstrak etanol buah pare 250 mg/kgBB
p.o dan pakan standar; kelompok perlakuan 4 (K4) yang diberikan injeksi aloksan
125mg/kgBB i.p, diberikan glibenklamid 0,45 mg/kgBB tikus p.o dan pakan standar;
kelompok perlakuan 5 (K5) yang diberi injeksi aloksan, diberikan ekstrak buah pare
250 mg/kgBB p.o, glibenklamid 0,45 mg/kgBB tikus p.o dan pakan standar.
Uji statistik yang digunakan adalah Uji Kruskal Wallis dan Mann-Whitney.
Berdasarkan data yang telah dianalisis, didapatkan pada uji Kruskal Wallis p= 0,001.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05)
antara rata-rata KGD pada kelima kelompok.
Pada hasil uji Mann-Whitney pada kelompok terapi kombinasi (K5) dengan
kelompok terapi tunggal ektrak etanol buah pare (Momordica charantia) (K3)
didapatkan p=0,047. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terapi kombinasi
memberikan efek yang lebih signifikan (p<0,05) jika dibandingkan dengan terapi
tunggal ektrak etanol buah pare (Momordica charantia). Sedangkan hasil uji Mann-
Whitney pada kelompok terapi kombinasi (K5) dengan kelompok terapi tunggal
glibenklamid (K4) didapatkan p=0,047. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terapi
kombinasi memberikan efek yang lebih signifikan (p<0,05) jika dibandingkan dengan
terapi tunggal glibenklamid. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian
terapi kombinasi ekstrak etanol buah pare (Momordica charantia) dengan
glibenklamid lebih efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah tikus wistar yang
diinduksi aloksan dibandingkan dengan terapi tunggal ekstrak etanol buah pare atau
terapi tunggal glibenklamid. | en_US |