EFEK PENAMBAHAN VITAMIN C TERHADAP AKTIVITAS KLINDAMISIN DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN Streptococcus pneumoniae SECARA IN VITRO
Abstract
Streptococcus pneumoniae merupakan salah satu flora normal di hidung dan faring. Namun apabila terjadi peningkatan virulensi dan berpindahnya bakteri dari tempat flora normalnya, S. pneumoniae menjadi bakteri patogen. Manifestasi klinis dari infeksi S. pneumoniae adalah meningitis, bakterimia, pneumonia, dan otitis media. Pada kasus infeksi oleh S. pneumoniae, pemberian terapi antibiotik menjadi pilihan yang tepat untuk mengeradikasi bakteri salah satunya adalah pemberian klindamisin. Studi terbaru menunjukkan bahwa penambahan vitamin C dapat meningkatkan efek antibiotik dalam mengeradikasi bakteri. Hal ini disebabkan karena vitamin C memiliki sifat prooksidan yang menyebabkan terjadinya DNA-damage pada bakteri. Berdasarkan hal tersebut terapi kombinasi klindamisin dan vitamin C diharapkan dapat meningkatkan proses eradikasi bakteri sebagai antibakterial dan prooksidan. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui efek kombinasi klindamisin dan vitamin C terhadap pertumbuhan S. pneumoniae secara in vitro dan menentukan konsentrasi terkecil dari vitamin C dalam kombinasinya dengan klindamisin yang dapat meningkatkan aktivitas antibakteri klindamisin dalam menghambat pertumbuhan S. pneumoniae.
Jenis penelitian ini ialah quasi experimental secara in vitro dengan rancangan posttest only control group design. Penelitian dilakukan selama 1,5 bulan dari bulan Oktober sampai November 2015 di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Jember. Sampel dalam penelitian ini ialah isolat bakteri S. pneumoniae. Variabel bebas berupa konsentrasi penambahan vitamin C sedangkan variabel terikat berupa diameter zona hambat yang diukur dengan menggunakan jangka sorong. Dilakukan penelitian berupa uji sensitivitas kombinasi klindamisin dan vitamin C dengan metode disk diffusion. Larutan yang diteteskan pada cakram terbagi menjadi tujuh kelompok. Kelompok kontrol positif adalah cakram yang hanya berisi klindamisin 2μg/5μl, kelompok kontrol negatif berisi aquades, dan kelompok perlakuan diberi kombinasi klindamisin dan vitamin C dengan konsentrasi 2,5 mg/ml; 5 mg/ml; 10 mg/ml; 20 mg/ml; dan 40 mg/ml. Selanjutnya dilakukan penempelan cakram pada media MHA (Mueller Hinton Agar) yang disuplementasi 5% darah domba yang telah diinokulasi S. pneumoniae. Indikator penghambatan pertumbuhan terlihat dari zona bening atau zona hambat yang terbentuk disekitar cakram yang diukur diameternya menggunakan jangka sorong. Rata-rata diameter zona hambat pada penambahan vitamin C konsentrasi 2,5 mg/ml; 5 mg/ml; 10 mg/ml; 20 mg/ml; dan 40 mg/ml ialah 24,62; 26,08; 27,58; 28,74; dan 29,76. Sedangkan pada kontrol positif yang hanya diberikan klindamisin saja berdiameter 24,12. Hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan diameter zona hambat pada penambahan vitamin C apabila dibandingkan dengan kontrol positif. Data tersebut memiliki signifikansi uji normalitas Shapiro-Wilk 0,204 dan homogenitas 0,422 (p>0,05). Pada uji korelasi Pearson menunjukkan signifikansi 0,910 yang menunjukkan hubungan searah yang erat. Pada uji regresi logaritmik didapatkan nilai konsentrasi minimal vitamin C dalam meningkatkan sensitivitas klindamisin adalah 1,767 mg/ml.
Penelitian ini menunjukkan bahwa vitamin C terbukti berperan dalam meningkatkan aktivitas antibakteri klindamisin dalam menghambat pertumbuhan S. pneumoniae secara in vitro. Dari hasil yang diperoleh perlu dilakukan penelitian lanjutan yaitu uji efektivitas kombinasi klindamisin dan vitamin C dalam sediaan oral secara in vivo terhadap infeksi S. pneumoniae.
Collections
- UT-Faculty of Medical [1487]