dc.description.abstract | Secara global infeksi saluran kemih masih menjadi masalah kesehatan
yang penting dan banyak dijumpai di berbagai unit pelayanan kesehatan dasar
hingga subspesialistik. Di negara-negara berkembang penyakit infeksi masih
menempati urutan pertama dari penyebab sakit di masyarakat. Menurut National
Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse (NKUDIC), ISK
merupakan penyakit infeksi kedua tersering setelah infeksi saluran pernafasan
yaitu sebanyak 8,1 juta kasus per tahun. Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu
reaksi inflamasi sel-sel urotelium melapisi saluran kemih, sebagai bentuk
pertahanan yang disebabkan karena masuknya bakteri ke dalam saluran kemih dan
berkembangbiak di dalam media urin. Selain menggunakan antibiotik, tata laksana
terapi ISK juga memungkinkan penggunaan obat dari golongan lain untuk
meringankan gejala lain, yaitu mual, muntah, demam, disuria, dan terdesak
kencing yang biasanya terjadi bersamaan disertai nyeri suprapubik dan daerah
pelvis. Penggunaan lebih dari satu jenis obat dalam suatu proses terapi dapat
disebut dengan polifarmasi. Salah satu akibat dari polifarmasi yaitu semakin
besarnya risiko interaksi obat. Potensi interaksi obat—obat dibagi menjadi 3
kategori yaitu mayor, moderat, dan minor. Potensi interaksi mayor sangat
berbahaya karena menyebabkan kematian dan kerusakan permanen sehinggan
perlu dihindari. Interaksi obat—obat merupakan perubahan efek obat utama oleh
pemberian obat lain sebelumnya atau secara bersamaan. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui potensi terjadinya interaksi obat—obat pada terapi ISK,
profil interaksi obat—obat berdasarkan mekanisme, dan tingkat keparahan potensi
kejadian interaksi obat—obat pada terapi ISK pasien rawat inap di RSD dr.
Soebandi.
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Daerah dr. Soebandi Jember
pada bulan Agustus 2015. Penelitian ini merupakan deskriptif retrospektif dengan
menggunakan data rekam medik selama Januari-Desember 2014. Sampel adalah
pasien rawat inap dengan diagnosa ISK di RSD dr. Soebandi Jember periode
Januari-Desember 2014 yang memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan sampel
dilakukan dengan metode total sampling berjumlah 59.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini antara lain: hampir separuh
(42,4%) dari 59 pasien mengalami interaksi obat—obat yang relevan. Bila dilihat
dari total 59 kejadian interaksi obat—obat yang relevan, sebanyak 3 (5,1%) kasus
interaksi kategori mayor dan 42 (71,2%) kasus interaksi kategori moderat yang
dapat dihindari dengan pengaturan jam atau pemberian obat lain yang tidak
menimbulkan interaksi. Sebanyak 23 (39,0%) kejadian interaksi farmakodinamik
dan 35 (61,0%) kejadian interaksi farmakokinetik. Separuh interaksi
farmakokinetik (32,2%) terjadi pada proses absorpsi.
Penelitian ini menunjukkan 59 potensi kejadian interaksi yang terjadi pada
25 (42,4%) pasien. Oleh karena itu, dibutuhkan pengaturan jam, pemberian obat
lain yang tidak berinteraksi, atau pemberian obat melalui jalur lain untuk
menghindari adanya interaksi obat—obat. Perlu adanya monitor dari dokter dan
apoteker untuk mencegah terjadinya interaksi obat—obat yang berbahaya dan
pemantauan efek dari interaksi obat—obat. Perlu dilakukan penelitian mengenai
interaksi obat—obat secara prospektif agar dapat memberikan hasil penelitian
yang lebih baik. | en_US |