PENGGUNAAN DIKSI DAN GAYA BAHASA OLEH ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERIODE 2014—2019
Abstract
Bahasa politik adalah bahasa yang digunakan oleh kelompok tertentu demi kepentingan tertentu atas dasar kekuasaan. Pembicaraan tentang politik adalah pembicaraan tentang kekuasaan, tentang pengaruh, dan tentang otoritas. Politisi menggunakan bahasa bukan hanya untuk menyatakan pendapat dan pikirannya, melainkan juga untuk menyembunyikan pikirannya. Untuk mengetahui bentuk-bentuk bahasa politik, peneliti mengambil objek kajian pada saat politisi Indonesia berkumpul yaitu Sidang Paripurna DPR RI.
Anggota DPR RI memiliki gaya bahasa dan diksi yang beragam dalam penyampaian pendapat. Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang anggota DPR RI. Permasalahan penelitian ini adalah (1) bagaimana penggunaan diksi dan gaya bahasa oleh anggota DPR RI; (2) bagaimana maksud dan tujuan penggunaan diksi dan gaya bahasa oleh anggota DPR RI. Tujuan penelitian ini adalah mendiskripsikan dan menjelaskan diksi dan gaya bahasa yang digunakan anggota DPR RI. Selanjutnya, mendiskripsikan maksud dan tujuan penggunaan diksi dan gaya bahasa berdasarkan konteks dan teori Analisis Wacana Kritis (AWK). Metode penyediaan data yang digunakan adalah metode simak, kemudian teknik lanjutan teknik simak bebas libat cakap, dan terakhir teknik catat. Selanjutnya, metode analisis data adalah metode deskriptif dan metode padan dengan pendekatan kontekstual serta didukung dengan menggunakan AWK. Kemudian metode penyajian hasil analisis data yang digunakan yaitu metode penyajian formal dan informal.
Hasil dari penelitian, ditemukan adanya istilah-istilah politik yang khusus digunakan dalam persidangan DPR RI. Istilah-istilah politik yang digunakan oleh anggota DPR RI dalam Sidang Paripurna misalnya lobi, skors, voting, pimpinan sidang, dan sejenisnya. Berdasarkan jenisnya diksi yang digunakan anggota dewan pada saat Sidang Paripurna dapat berupa diksi denotatif, konotatif, polisemi, dan sinonimi. Selanjutnya, ditemukan gaya bahasa yang digunakan dalam Sidang Paripurna DPR RI yaitu gaya bahasa eufemisme, erotesis, koreksi, oksimoron, resmi, klimaks, repetisi, personifikasi, dan sindiran. Penggunaan gaya bahasa anggota dewan dapat menunjukkan anggota dewan yang sebenarnya. Penggunaan gaya bahasa eufemisme menunjukkan bahwa anggota dewan dalam berpendapat ada yang disembunyikan maksud dan tujuan. Penggunaan gaya bahasa erotesis menunjukkan bahwa anggota dewan dalam berpendapat selalu meyakinkan pendengarnya. Penggunaan gaya bahasa koreksi menunjukkan bahwa anggota dewan tidak selalu fokus pada permasalahan yang dibicarakan dan menunjukkan ketidaktegasan. Penggunaan gaya bahasa oksimoron menunjukkan bahwa bahasa anggota dewan berbelit-belit yang sebenarnya betujuan untuk menjatuhkan lawan bicara. Penggunaan gaya bahasa resmi menunjukkan bahwa Sidang Paripurna adalah forum resmi. Penggunaan gaya bahasa klimaks menunjukkan bahwa penyampaian pemikiran anggota dewan runtut. Penggunaan gaya bahasa repetisi menunjukkan bahwa anggota dewan menggunakan bahasa menekan agar dapat dipercaya. Penggunaan gaya bahasa personifikasi menunjukkan bahwa adanya bahasa kiasan yang digunakan pada forum resmi. Penggunaan gaya bahasa sindiran menunjukkan anggota dewan berani terang-terangan untuk melawan lawan politiknya dengan gaya menyindir.
Analisis yang ketiga ditemukan maksud-maksud tertentu dari anggota dewan dilihat dari diksi dan gaya bahasa yang digunakannya. Dilihat berdasarkan bahasa yang digunakan anggota dewan, peneliti dengan berpedoman teori AWK menemukan adanya maksud, apakah anggota dewan berpihak kepada rakyat atau hanya mementingkan kepentingan individu atau kepentingan fraksi saja. Hasil penelitian mengungkapkan terdapat maksud untuk kepentingan individu/fraksi /koalisi dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat dan adanya unsur-unsur propaganda di dalam pernyataannya.