Show simple item record

dc.contributor.advisorWati, Dwi Martiana
dc.contributor.advisorBaroya, Ni‟mal
dc.contributor.authorAdiilah
dc.date.accessioned2015-12-23T07:46:24Z
dc.date.available2015-12-23T07:46:24Z
dc.date.issued2015-12-23
dc.identifier.nim112110101118
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/68635
dc.description.abstractPenyandang cacat termasuk orang yang aktif secara seksual dan memiliki kebutuhan kesehatan reproduksi yang sama dengan mereka yang tidak menderita kecacatan. Kenyataannya, penyandang cacat memiliki banyak hambatan untuk mengakses pelayanan kesehatan reproduksi. Hambatan tersebut muncul dari berbagai aspek seperti norma dan budaya yang membatasi, keterbatasan pelayanan, kurangnya alat bantu, lemahnya kemampuan komunikasi para petugas kesehatan, tidak tersedianya bangunan, marjinalisasi dalam komunitas, buta huruf, keterbatasan pendidikan, serta ketidaksetaraan gender. Banyak remaja penyandang cacat yang tidak mendapatkan informasi kesehatan bahkan informasi dasar tentang bagaimana tubuh mereka berkembang dan berubah, dan karena mereka sering diajarkan untuk diam dan patuh, mereka sangat berisiko mendapat tindak kekerasan dan pelecehan seksual. SMPLB dan SMALB A, B, C TPA Bintoro Kabupaten Jember merupakan salah satu sekolah luar biasa yang memiliki jumlah siswa paling banyak diantara semua sekolah luar biasa yang ada di Kabupeten Jember yakni sebanyak 36 siswa, belum mempunyai fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi seperti ruang UKS dan ruang BK dan pemberian informasi mengenai kesehatan reproduksi yang belum memadai. Pendidikan tentang kesehatan reproduksi bagi remaja penyandang cacat juga belum tersedia, guru hanya memberikan pelajaran kesehatan jika hal tersebut tercantum pada bab tertentu di buku pelajaran mereka. Pelayanan konseling kesehatan reproduksi belum tersedia, bahkan belum ada tenaga khusus yang menangani pendidikan dan permasalahan kesehatan reproduksi pada remaja penyandang cacat. UKS hanya bersifat sebagai tempat pelayanan kesehatan secara umum, tempat imunisasi, pengukuran berat badan dan tinggi badan, serta bekerjasama dengan pihak puskesmas kecamatan jika ada program tertentu dari pemerintah. Akan tetapi hasil studi pendahuluan tersebut belum sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan UKS di Sekolah yang dikeluarkan oleh Kemendikbud pada tahun 2012 yang menyatakan bahwa standar fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi adalah terpenuhinya indikator sarana prasarana, pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan, dan pembinaan lingkungan sekolah sehat. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja penyandang cacat di SMPLB dan SMALB TPA Bintoro Kabupaten Jember. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah 5 guru dari setiap sekolah dan 36 siswa remaja penyandang cacat. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer, pengambilan data menggunakan metode wawancara, observasi dan dokumentasi. Data tersebut selanjutnya diolah sesuai dengan kebutuhan peneliti dan disajikan dalam bentuk teks. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 87,1%, remaja penyandang tunanetra memiliki pengetahuan tinggi mengenai kesehatan reproduksi, 59,3% remaja tunarungu memiliki pengetahuan sedang dan 37,5% remaja tunagrahita memiliki pengetahuan kesehatan reproduksi paling rendah. Remaja tunanetra yang menyatakan sikap postif terhadap kesehatan reproduksi sebesar 90%, remaja tunarungu memiliki sikap positif sekitar 55,3%, dan remaja tunagrahita memiliki sikap positif terhadap kesehatan reproduksi paling rendah yakni hanya 27,8%. Fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi yang dimiliki oleh SMALB B sudah 90% sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan UKS di Sekolah yang dikeluarkan oleh Kemendikbud, fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi SMPLB dan SMALB A sekitar 76,6%, fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi SMPLB B sekitar 63,2%, sedangkan fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi yang dimiliki SMALB C dan SMPLB C hanya 49,9% dan 43,2% yang sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan UKS di Sekolah. Remaja tunanetra 98,5% menyatakan membutuhkan pelayanan kesehatan reproduksi, 59,3% remaja tunarungu menyatakan membutuhkan pelayanan kesehatan reproduksi, sedangkan remaja tunagrahita menyatakan membutuhkan pelayanan kesehatan reproduksi paling rendah yakni hanya sekitar 28,2%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diharapkan pihak sekolah dapat mengidentifikasi kebutuhan kesehatan reproduksi siswa, mengupayakan adanya kegiatan ekstrakurikuler kesehatan reproduksi untuk setiap jenis kecacatan, serta mampu mengupayakan tersedianya guru BK yang bisa memberikan konseling kesehatan reproduksi kepada siswa remaja penyandang cacat.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.subjectKesehatan Reproduksien_US
dc.subjectPenyandang Cacaten_US
dc.titleGAMBARAN KEBUTUHAN PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI BAGI REMAJA PENYANDANG CACAT DI SMPLB DAN SMALB TPA BINTORO KABUPATEN JEMBERen_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record