STATUS RESISTENSI HAMA ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F.) ASAL KARANGPLOSO MALANG TERHADAP INSEKTISIDA SINTETIS ABAMEKTIN
Abstract
Ulat grayak adalah salah satu jenis hama penting yang menyerang tanaman palawija dan sayuran di Indonesia. Selain di Indonesia, ulat grayak juga merupakan hama yang banyak ditemukan di India, Jepang, Cina, dan negara-negara lain di Asia Tenggara. Ulat grayak bersifat polifag atau mempunyai kisaran inang yang luas sehingga berpotensi menjadi hama pada berbagai jenis tanaman pangan, sayuran, buah dan perkebunan.
Umumnya dalam mengendalikan hama ulat grayak, petani menggunakan insektisida sintetis. Hal yang sama juga dilakukan oleh petani di daerah Karangploso, Malang. Petani di daerah tersebut sebagian besar memilih menggunakan insektisida sintetis untuk mengendalikan hama, khususnya hama ulat grayak yang banyak menyerang sayuran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi abamektin 18 EC terhadap berat larva dan lama perkembangan S. litura F. serta mengetahui status resistensi S. litura F. asal Karangploso, Malang, terhadap insektisida abamektin 18 EC berdasarkan nilai nisbah resistensi (NR).
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi, Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jember. Waktu penelitian pada bulan Mei sampai Juni 2015. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 taraf perlakuan, 1 kontrol tetapi setiap perlakuan terdiri dari 4 kali ulangan dengan konsentrasi 0 ml/L (kontrol), 0,05 ml/L, 0,125 ml/L, 0,2 ml/L, 0,275 ml/L, dan 0,35 ml/L.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa perlakuan insektisida abamektin 18 EC berpengaruh secara signifikan terhadap berat larva S. litura F. dan lama fase perkembangan. Semakin tinggi konsentrasi, berat larva S. litura F. semakin menurun. Berat larva S. litura secara berturut-turut (kontrol, P1, P2, P3, P4, dan P5) yaitu 0,55 ± 0,03 gram; 0,54 ± 0,04 gram; 0,52 ± 0,03 gram; 0,49 ± 0,06 gram; 0,47 ± 0,03 gram; dan 0,46 ± 0,02 gram. Semakin tinggi konsentrasi, lama fase perkembangan larva S. litura F. semakin lama. Lama fase instar 3 secara berturut-turut (kontrol, P1, P2, P3, P4, dan P5) yaitu 3,00 ± 0,00 hari; 3,25 ± 0,44 hari; 3,25 ± 0,44 hari; 3,25 ± 0,44 hari; 3,50 ± 0,51 hari; dan 3,50 ± 0,51 hari. Lama fase instar 4 secara berturut-turut (kontrol, P1, P2, P3, P4, dan P5) yaitu 2,00 ± 0,00 hari; 2,00 ± 0,00 hari; 2,25 ± 0,44 hari; 2,25 ± 0,44 hari; 2,25 ± 0,44 hari, dan 2,50 ± 0,51 hari. Lama fase instar 5 secara berturut-turut (kontrol, P1, P2, P3, P4, dan P5) yaitu 3,25 ± 0,44 hari; 3,25 ± 0,44 hari; 3,25 ± 0,44 hari; 3,25 ± 0,44 hari; 3,50 ± 0,51 hari; dan 3,50 ± 0,51 hari. Lama fase pupa secara berturut-turut (kontrol, P1, P2, P3, P4, dan P5) yaitu 7,50 ± 0,51 hari; 7,75 ± 0,84 hari; 7,75 ± 0,84 hari; 8,25 ± 0,84 hari; 8,25 ± 0,84 hari; dan 8,50 ± 0,51 hari.
Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa aplikasi insektisida abamektin 18 EC berpengaruh terhadap berat dan lama perkembangan. Semakin tinggi konsentrasi maka berat larva semakin menurun dan fase perkembangannya semakin lama. S. litura F. yang berasal dari Karangploso, Malang telah resisten terhadap insektisida abamektin 18 EC dengan nilai Nisbah Resistensi 4,02. Hendaknya petani menggunakan insektisida dengan lebih bijak dan dilakukan pergiliran insektisida dengan insektisida lain. Sebaiknya dilakukan pengawasan terhadap resistensi hama yang ada di lapang dan dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai resistensi hama. Petani seharusnya menggunakan insektisida lain yang lebih ramah lingkungan contohnya menggunakan insektisida nabati.