PERGESERAN FUNGSI YUDIKATIF DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
Abstract
Mahkamah Konstitusi merupakan pelaku kekuasaan kehakiman di
Indonesia disamping Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi memiliki
kewenangan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of
the constitution). Dengan konsekuensi itu juga MK berfungsi sebagai penafsir
final konstitusi (the final interpreter of the constitution). Mahkamah Agung
sebagai pelaku kekuasaan kehakiman juga diberikan kewenangan untuk
melakukan uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undangundang
terhadap undang-undang di Indonesia.
Rumusan masalah dalam tulisan tesis ini terdapat tiga rumusan masalah.
Pertama Apakah MK telah melakukan Pergeseran Fungsi Yudikatif dengan
Putusan Mahkamah Konstuisi Nomor 102/PUU-VII/2009, kedua Apakah MK
telah melakukan Perubahan Konstitusi terhadap Pasal 24 C Ayat (1) dengan
Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013, dan ketiga Apakah MA melalui Perma
Nomor 1 Tahun 2011 telah melakukan pergeseran fungsi Yudikatif.
Metodolologi pendekatan yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah
pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konseptual
(conseptual approach) Pendekatan kasus (case approach), serta pendekatan
pendekatan asas hukum atau disebut juga dengan (legal principle approach.)
Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan wakil presiden dialam pasal 28 dan Pasal 111 yang isinya memberikan
pengaturan kepada warga Negara Indonesia yang bisa ikut dalam memilih dalam
pemilu presiden di sebutkan bahwa selain yang sudah memenuhi syarat untuk bisa
menjadi pemilih juga diatur bahwa warga negara tersebut terdaftar di Daftar
Pemilih Tetap dan Daftar Pemilih Tambahan. Namun terdapat warga Negara yang
bernama Refly Harun dan Maheswara Prabandono tidak terdaftar dalam Daftar
pemilih Tetap dan Daftar Pemilih Tambahan meskipun keduanya memenuhi
syarat untuk ikut memilih, sehingga kedua mengajukan judicial review terhadap
ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan wakil presiden. Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya menyatakan pasal 28 dan Pasal 111 konstitusional bersyarat dengan
melakukan penambahan arti yang berisi pengaturan dengan memperbolehkan
KTP dan Paspor untuk ikut memilih dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Oleh karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman
melakukan kewenangan pengaturan yang sebenarnya itu bukan kewenangannya,
kewenangan tersebut sebenarnya ada pada Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden Republik Indonesia.
Mahkamah Konstitusi dalam dalam melaksanakan kewenagannya
melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 tersebut
menurut pasal 24C Ayat (1) adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final. Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 telah
meniadaan sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang semula sifat putusannya
bersifat final menjadi tidak final lagi. Oleh karenanya perubahan konstitusi telah
berubah terhadap ketentuan Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 tersebut.
Mahkamah Agung yang memperoleh kewenangan melakukan pengujian
terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap
undang-undang melalui amanah Pasal 24A Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Namun Mahkamah Agung melalui Perma Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji
Materill telah merubah ketentuan tersebut dan melebarkan kewenangannya
menjadi tidak hanya pengujian undang-undang, namun frasa yang digunakan
adalah peraturan tingkat lebih tinggi.
Untuk mengkaji hal tersebut akan dibahas secara mendalam dengan
beberapa teori yang berkembang dalam ilmu hukum. Pembahasan ini akan
dibahas secara komprehensif guna menemukan formulasi hukum yang tepat dalam
menjalankan ketatanegaraan, yang nantinya Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah
Agung kedepannya bisa menjalankan kewenangannya berdasarkan cabang
kekuasaan yang ada pada lembanganya.
Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa MK dan MA selaku pelaksana
Kekuasaan kehakiman telah melakukan pergeseran fungsi yudikatif dengan
Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009 dan MA melalui Perma Nomor 1 Tahun
2011. Saran penulis adalah kedepan pelaku kekuasaan kehakiman tetap berada di
cabang kekuasaan kehakiman serta perlu perubahan Konstitusi yang kelima
terhadap Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 terkait pengujian undangundang
yang tidak lagi bersifat final.
Collections
- MT-Science of Law [333]