PENGATURAN TATANIAGA GULA NASIONAL DALAM MENCIPTAKAN SWASEMBADA GULA
Abstract
rah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan social. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian bertujuan untuk
mewujudkan industri yang maju, mandiri, berdaya saing; berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan; meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara
berkeadilan; mewujudkan persaingan yang sehat serta mencegah pemusatan atau
penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan yang merugikan masyarakat;
mewujudkan pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah Indonesia; dan
memperkuat dan memperkokoh ketahanan nasional. Tahun 2002 program swasembada gula
dirilis dan ditargetkan untuk tercapai pada tahun 2007, kemudian ditunda hingga 2008 dan
diperpanjang hingga 2009 dan kembali dicanangkan tercapai tahun 2014. RPJMN Tahun
2015-2019 kembali mencanangkan target swasembada gula nasional yang tercapai di tahun
2018. SK Menteri hanya membolehkan impor dilakukan 3 (tiga) bulan sebelum atau 3 (tiga)
bulan setelah musim giling raya untuk menyetabilkan pasokan gula dalam negeri, namun
kerapkali saat panen dan giling raya, impor gula justeru dibuka sehingga harga gula pekebun
jatuh. Sistem dana talangan yang dicanangkan juga tidak mampu lagi dipenuhi pemberi
talangan (pabrik gula/swasta) karena HPP gula yang ditentukan terlalu tinggi, akibatnya gula
pekebun dibeli dengan harga di bawah ketentuan SK menteri tersebut. Gula rafinasi yang
harusnya untuk sektor industri, namun akibat ulah produsen “nakal”, gula rafinasi justru
merembes (dijual) bebas ke pasar/konsumen. Perdagangan gula di Indonesia justeru menjadi
bagian kejahatan kartel gula karena membatasi pelaku usaha yang dibolehkan melakukan
impor raw sugar. Penyempitan lahan akibat alih fungsi lahan pertanian, kesulitan
memperoleh pupuk, pekebun yang masih belum memahami jenis bibit dan teknik
penanaman tebu, rendemen tebu yang masih rendah, produktifitas pengolahan yang rendah
akibat jumlah dan usia mesin pabrik yang sedikit dan semakin tua turut memperparah
kondisi. Faktor-faktor hukum dan nonhukum ini menjadi tantangan bagi setiap era
pemerintahan. Perlu kerjasama lembaga menteri yang terkait, bukan hanya tugas Menteri
Pertanian, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan saja, namun juga menteri yang
terkait seperti Menteri Kehutanan, Lembaga Penelitian dan Pengembangan, lembaga
perbankan, asosiasi pekebun tebu, sarana prasarana serta peran pemerintah daerah dan
lembaga masyarakat untuk membantu mengawasi program pemerintah. Masyarakat juga
ikut berperan terhadap terwujudnya swasembada gula. Masyarakat tersebut mulai dari
pekebun, pelaku usaha/industri gula dan konsumen gula.
Permasalahan dan tujuan penelitian yang diambil antara lain membangun konsepsi
regulasi terkait bidang tataniaga gula yang dapat melindungi kepentingan pekebun, industri
dan konsumen gula di Indonesia; membangun konsepsi penataan lembaga pengelolaan
tataniaga gula yang dapat mendorong terciptanya swasembada gula di Indonesia; dan
membangun konsepsi pengaturan peran masyarakat dalam peraturan perundang-undangan
yang mendorong terciptanya swasembada gula di Indonesia. Metodologi penelitian yang
xii
digunakan dalam penulisan tesis ini yaitu tipe penelitian yang bersifat yuridis normatif (legal
research). Pendekatan masalah yang digunakan dalam penyusunan tesis ini yaitu
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual
approach) dan pendekatan perbandingan (comparativ approach). Sumber bahan hukum
yang digunakan adalah sumber bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
Kesimpulan dari tesis ini bahwa regulasi yang melindungi kepentingan pekebun,
industri dan konsumen gula di Indonesia yang menciptakan swasembada gula nasional
dilakukan dengan koordinasi yang baik antara pembuat peraturan perundang-undangan
sehingga ketidak sinergian antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya yang
menyebabkan tidak tercapainya swasembada, baik di sektor on farm maupun off farm dapat
dihindari; penataan lembaga dalam tataniaga gula yang dapat mendorong terciptanya
swasembada gula di Indonesia dilakukan dengan pembentukan lembaga yang khusus
menangani pangan mulai on farm hingga off farm sehingga tidak terjadi tumpang tindih tugas
dan terhindar dari ego sektoral disertai koordinasi yang baik antar kementerian terkait; dan
pengaturan peran masyarakat dalam peraturan perundang-undangan yang mendorong
terciptanya swasembada gula di Indonesia dilakukan dengan mencantumkan peran
masyarakat tersebut dalam peraturan perundang-undangan tidak hanya di sektor on farm,
namun juga di sektor off farm sehingga peran masyarakat dapat dilindungi secara hukum.
Saran ditujukan kepada lembaga legislatif dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat
hendaknya tidak membuat peraturan yang terintegrasi dan tidak kontraproduktif. Kepada
pemerintah daerah dan lembaga/menteri terkait hendaknya mempermudah pengalokasian
lahan tebu dan memberi perhatian pada sektor hulu. Dewan Gula Indonesia perlu dibentuk
kembali. Kepada Pemerintah hendaknya lebih mendorong pengaturan peran serta
masyarakat.
Collections
- MT-Science of Law [333]