dc.description.abstract | Metakognisi ialah kemampuan siswa mengetahui proses kognisinya serta
memantau dan mengatur proses berpikir mereka ketika menyelesaikan soal
matematika. Dalam menyelesaikan masalah ada keterkaitan antara kognisi dan
metakognisi, pada aktivitas kognisi hanya sebatas bagaimana informasi diproses
untuk mencapai tujuan sedangkan pada aktivitas metakognisi peserta didik secara
sadar menyesuaikan dan mengelola strategi pemikiran mereka pada saat memecahkan
masalah untuk mencapai tujuan. Dalam menyelesaikan soal cerita kita tidak hanya
mampu memproses kognitif kita dengan rumus-rumus yang kita pelajari, namun juga
harus bisa melihat kembali proses berpikir yang kita lakukan pada setiap aktifitas.
Kemampuan metakognisi dapat dikembangkan melalui pelatihan metakognisi
berdasarkan pendekatan Polya. Sehingga indikator tersebut dikelompokkan menjadi 4
bagian berdasarkan tahapan Polya, yaitu untuk mengetahui kemampuan metakognisi
siswa: 1) memahami masalah, 2) menyusun rencana, 3) melaksanakan rencana, dan
4) memeriksa kembali.
Schoenfeld (1985:110) mengembangkan langkah-langkah dalam menghadapi
masalah menjadi enam tahap, yaitu : membaca, analisis, eksplorasi, perencanaan,
pelaksanaan, dan pembuktian pangujian. Kerangka ini menentukan karakteristik
kognisi dan metakognisi yang baik dalam setiap tahap yang dapat ditunjukkan oleh
pengamatan kelakuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita. Pengembangan versi
model Schoenfeld ini telah dikembangkan oleh Artzt dan Armour Thomas (Goos, et
al.2007). Karakteristik masing-masing tahap yang dikemukakan Artzt dan Armour
Thomas yaitu : (1). Membaca (2). Pemahaman (3). Analisis (4). Eksplorasi (5).
Perencanaan (6) Pelaksanaan (7). Pemeriksaan . Metakognisi dalam tahap ini adalah
ix
memeriksa perhitungan, menguji bahwa solusi memenuhi kondisi masalah dan dapat
dimengerti, mengevaluasi proses pemecahan dan yakin atas hasil yang diperolehnya.
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat diambil beberapa
kesimpulan tentang kemampuan metakognisi siswa berkemampuan matematika
tinggi, siswa berkemampuan matematika sedang, dan siswa berkemampuan rendah.
Siswa berkemampuan matematika tinggi dapat melewati tahap-tahap perilaku
metakognisi dengan baik yang sesuai pada indikator. Dapat melawati tahap
memahami masalah, analisis, eksplorasi dan perencanaan dengan baik. Pada tahap
pelaksanaan siswa berkemampuan tinggi selalu mengerjakan sesuai dengan rencana
dengan runtut, teliti dan benar. Selama mengerjakan selalu waspada dengan tiap
langkah pekerjaannya. Maka dari itu jika dalam mengerjakan dirasa mendapatkan
hasil jawaban yang angkanya aneh, dia segera sadar dan mengecek kembali
pekerjaannya.
Untuk siswa yang berkemampuan sedang dapat melewati tahap-tahap perilaku
metakognisi lumayan baik sesuai pada indikator. Siswa tersebut dapat melawati tahap
memahami masalah, namun tidak menuliskan alur rencananya. Dapat melewati tahap
analisis dan eksplorasi dengan baik. Namun tidak dapat melewati tahap perencanaan.
Pada tahap pelaksanaannya siswa berkemampuan sedang dapat menulis jawabannya
dengan benar dan runtut, dia sadar dengan apa yang dikerjakannya. Pada tahap
pemeriksaan siswa tersebut hanya mampu memeriksa jawabannya beberapa soal saja.
Siswa berkemampuan rendah dalam melewati tahap-tahap perilaku
metakognisinya masih kurang, sebab ada beberapa indikator yang tidak terpenuhi
olehnya. Dapat melawati tahap memahami masalah dengan membaca soal dan
pemahaman, namun tidak menuliskan alur berpikirnya. Siswa berkemampuan rendah
tidak dapat melewati tahap analisis. Dalam tahap perencanaan siswa ini dapat
merencanakan dengan baik dan lengkap. Sehingga pekerjaannya langkah yang dia
ambil sudah sesuai rencana. Sedangkan dalam operasi hitungannya dia kurang teliti
yang menyebabkan kesalahan hingga akhir. Dan hal ini pun tanpa dia sadari dan tidak
berpikir ulang tentang jawabannya. | en_US |