SENGKETA TANAH MANDIKU: STUDI KASUS TUNTUTAN MASYARAKAT ATAS HAK MILIK TANAH DI KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER, 2007–2010
Abstract
Ringkasan disajikan dengan sistematika sebagai berikut: Sengketa Tanah
Mandiku: Studi Kasus Tuntutan Masyarakat Atas Hak Milik Tanah Di Kecamatan
Tempurejo Kabupaten Jember, Siti Munawaroh, 070110301083; 2014, 155, Jurusan
Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Jember. Pemasangan patok dan rencana tukar
guling yang diajukan Perhutani sangat meresahkan masyarakat Mandiku dan
Pondokrejo. Pada 12 Januari 2008 masyarakat Mandiku yang tergabung dalam
Penguyuban Petani Perjuangan Mbah Ungu (P3MU) mengirimkan surat dengan No.
03/P3MU/1.01/2008 kepada Ketua DPRD Jember Cq Komisi A tentang tanah
Mandiku. Surat tersebut berisi penyampaian keterangan bahwa telah terjadi
pemasangan patok secara sepihak oleh Perhutani Jember di perbatasan Dusun
Mandiku Desa Sidodadi dan Desa Pondokrejo. Pada 16 Januari 2008 Komisi A
DPRD Kabupaten Jember Abdul Ghofur, pada kunjungan kerja ke Dusun Mandiku
Desa Sidodadi dan Desa Pondokrejo berpidato di hadapan masyarakat menyampaikan
bahwa tanah yang ada di Dusun Mandiku Desa Sidodadi dan Desa Pondokrejo tidak
mungkin dihutankan lagi, karena sudah ditempati penduduk yang cukup padat dan
juga sudah terdapat bangunan–bangunan yang permanen, lengkap dengan sarana dan
prasarana. Abdul Ghofur selaku Komisi A DPRD mengatakan hal demikian tidak
membuat masyarakat menjadi tenang karena pemasangan patok tersebut sudah sangat
meresahkan masyarakat, sehingga pada 02 Februari 2008 masyarakat Mandiku dan
Pondokrejo menggelar aksi protes didepan Kantor Perum Perhutani Jember. Pada 27
Mei 2008 pihak Perhutani dan masyarakat Dusun Mandiku Desa Sidodadi dan Desa
Pondokrejo mengadakan rapat bersama di Balai Dusun Mandiku Desa Sidodadi
Kecamatan Tempurejo. Rapat tersebut membahas tentang usulan administratur
Perhutani KPH Jember Taufik Setiyadi untuk melakukan tukar guling. Menurut
Taufik Setiyadi tukar guling bukan tanpa alasan. Dalam rapat dengan Komisi A
DPRD Jember waktu itu, Taufik memaparkan sejumlah alasan mengapa tukar guling
xxii
menjadi salah satu solusi konflik tanah Mandiku tersebut. Menurut Taufik, sesuai
aturan yang berlaku, luas lahan hutan di Jawa minimal harus 30% dari total luas pulau
Jawa. Kenyataanya luas hutan di Jawa hanya 28%, dan oleh sebab itu setiap
pelepasan sejengkal tanah di Jawa harus diganti dengan sejengkal hutan pula. Pada
26 Mei 2010 Petani Perjuangan mengirimkan permohonan rekomendasi tanah
Mandiku Desa Sidodadi dan Desa Pondokrejo kepada Bupati Jember yang diketahui
oleh Kepala Desa serta Camat Tempurejo. Pada 16 Juni 2010 surat tersebut mendapat
respon dari Bupati Jember dengan No. 590/348/1.11/2010. Rekomendasi dari Bupati
yang mengatakan bahwa tanah Di Dusun Mandiku Desa Sidodadi dan Desa
Pondokrejo yang telah ditempati dan digarap secara turun–temurun agar dapat
dikeluarkan dari kawasan hutan (dienclave) dan selanjutnya diserahkan kepada
masyarakat. Rekomendasi bupati tersebut membuat wakil masyarakat Mandiku dan
Pondokrejo yang terkumpul dalam P3MU (Penguyupan Petani Perjuangan Mbah
Ungu) Dusun Mandiku Desa Sidodadi dan KTPKW (Kelompok Tani Perjuangan
Kembang Wungu) Desa Pondokrejo kecewa, karena Bupati tidak langsung
menegaskan bahwa tanah yang disengketakan tersebut menjadi hak milik sedangkan
Bupati sendiri mempunyai wewenang untuk menegaskan bahwa tanah tersebut dapat
menjadi hak milik masyarakat Mandiku dan masyarakat Pondokrejo. Hal ini
diungkapkan oleh Agus Sutrisno.