Pengembangan Tepung Berprebiotik sebagai Pangan Fungsional dari Pisang (Musa sp) Beberapa Varietas Unggulan Kabupaten Lumajang Provinsi Jawa Timur
Abstract
Pengembangan ingredien pangan berkesehatan (nutraceutical ingredients) menjadi perhatian terbaru bagi industri pangan. Penelitian hibah bersaing tahun 2011 telah melakukan seleksi terhadap beberapa varietas pisang unggulan Kabupaten Lumajang yaitu pisang agung, kepok, mas dan cavendish baik pada bagian batang empulur/ares, bonggol maupun buah sebagai bahan baku pembuatan tepung pisang. Mikroba amilolitik yang tumbuh selama fermentasi spontan batang empulur, bonggol dan buah pisang merupakan bakteri dengan karakteristik gram positif, katalase negatif/positif, berbentuk batang/kokus dengan suhu pertumbuhan optimal pada suhu 37 oC. Uji sifat fenotip menggunakan kit BBL Crystal menunjukkan isolat tersebut adalah Brevibacillus brevis, Streptococcus uberis, Helcococcus kunzii, Streptococcus anginocus, Streptococcus sanguinis grup dan Leifsonia aquatica. Hasil seleksi menunjukkan tepung yang paling disukai adalah tepung buah pisang agung sedangkan tepung batang empulur dan bonggol yang memiliki kelayakan untuk dikembangkan sebagai tepung pisang berprebiotik adalah tepung batang empulur pisang mas dan tepung bonggol pisang kepok. Penelitian tahun 2012 dilakukan identifikasi genotip bakteri amilolitik indigenus pisang untuk diformulasikan sebagai starter pada pembuatan tepung berprebiotik secara fermentasi terkendali serta mengisolasi komponen pangan tidak tercerna (serat pangan, pati resisten) dan evaluasi sifat prebiotiknya yaitu viabilitas probiotik uji dan kompetisinya dengan bakteri patogen serta evaluasi indeks prebiotik secara in vitro. Penelitian tahun 2013 dilakukan formulasi tepung pisang pada produk pangan model I (semi basah) yaitu menjadi bubur sebagai makanan pendamping air susu ibu dan pemanfaatan pisang masak menjadi produk pangan model II (kering) berupa keripik pisang masak (ripe banana chips). Evaluasi sifat-sifat prebiotik bubur MP-ASI didasarkan pada retensi pati resisten dari tepung pisang, sedangkan evaluasi sifat-sifat prebiotik produk RBC dilakukan secara in vivo dengan menggunakan feses manusia. Uji sensori juga dilakukan untuk menentukan preferensi panelis terhadap produk pangan model semi basah dan pangan model kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa formulasi yang memiliki mutu sensori terbaik berdasarkan tingkat kesukaan adalah formulasi A3B2 yaitu bubur MP-ASI yang terbuat dari tepung pisang 40g dan pisang masak agung 180g. Karakteristik mutu sensori formulasi A3B2 yaitu skor warna 6.1, skor manis 4.8, skor asam 3.5 dan skor aroma 5.9. Karakteristik mutu kimia menunjukkan bahwa kandungan pati resisten yang tinggi juga terdapat pada formulasi A3B2 sebanyak 0.62% bk dan terendah pada formulasi A1B2 (bubur MP-ASI yang terbuat dari tepung beras 40g dan pisang masak agung 180g). Kadar vitamin C formulasi MP-ASI berbahan pisang agung masak relatif lebih tinggi daripada kadar vitamin C formulasi MP-ASI berbahan pisang kepok masak. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pisang agung dapat dikembangkan sebagai MP-ASI yang memiliki karakteristik mutu lebih baik daripada pisang kepok. Hasil penelitian produksi RBC dan evaluasi sifat-sifat prebiotiknya menunjukkan bahwa RBC terpilih adalah RBC yang terbuat dari pisang mas yang diberi perlakuan pembekuan selama 60 menit sebelum dilakukan penggorengan vakum. RBC tersebut selanjutnya dievaluasi sifat-sifat prebiotik dengan pembanding RBC pisang mas tanpa pembekuan dan kontrol pisang mas masak segar. Sifat-sifat prebiotik secara in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa RBC pisang mas lebih baik sifat-sifat prebiotiknya berdasarkan profil probiotik yang tinggi dan nilai indeks prebiotik yang tinggi dibandingkan RBC pisang mas.
Collections
- LRR-Hibah Bersaing [348]