dc.description.abstract | Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat dikemukakan
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Konsep asuransi secara syariah mulai berkembang tahun 1993 di Indonesia
setelah masuknya perbankan syariah tahun 1992. Konsep asuransi secara
islam atau syariah dan konvensional sangatlah berbeda dan dari segi akad
perjanjian dapat terlihat bahwa akad asuransi syariah cenderunng pada tolong
menolong pertanggung jawaban sedangkan asuransi konvensioanl cenderung
pada konsep jual beli. Prinsip utama dalam asuransi syariah adalah ta’awanu
‘ala al birr wa al-taqwa yang artinya tolong menolonglah kamu sekalian
dalam kebaikan dan takwa, serta al-ta’min yang artinya rasa aman. sedangkan
prinsip utama asuransi konvensional adalah tukar menukar yaitu pertukaran
pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara struktural, landasan
operasional syari’ah di Indonesia masih menginduk pada peraturan yang
mengatur usaha peransuransian secara umum (konvensional). Dalam
pelaksanannya, asuransi syari’ah bersifat tolong menolong, akadnya
berdasarkan itikad baik dan halal, serta sesuai dengan ketentuan dalam agama
dan syari’ah Islam. Yang membedakan dengan asuransi konvensional adalah
pada perjanjian transaksinya, dimana pada asuransi konvensional nasabah
membeli perlindungan atau jaminan dari perusahaan asuransi, sedangkan pada
asuransi syari’ah perjanjiannya adalah para nasabah mengikatkan diri dalam
satu komunitas dan saling menanggung jika terjadi suatu musibah.
2. Landasan hukum keberadaan asuransi syariah adalah Al-Qur’an, Hadis, Ijtihad
yang mencakup Fatwa, Ijma, Qiyas. Sedangkan dari segi hukum positif
perkembangan asuransi syariah di Indonesia masih belum diikuti dengan
landasan regulasi yang jelas. Selama ini asuransi syariah mendasarkan
legalitasnya pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian padahal undang-undang ini kurang mengakomodasi konsep
asuransi syariah karena konsep asuransi syariah dan suransi konvensial sangat
berbeda. Dalam pelaksanaannya perusahaan asuransi syariah dan reasuransi
syariah menggunakan pedoman yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum
asuransi syariah. Namun demikian fatwa ini tidak memiliki kekuatan hukum
sebagaimana undang-undang karena tidak termasuk dalam hirarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Sehingga agar fatwa tersebut memiliki
kekuatan hukum maka dibuatlah peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pedoman asuransi syariah. Konsep asuransi syariah yang
lebih mengacu pada hukum Islam tidak cocok jika harus mendasarkan
aturannya pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992. Oleh karena itu
diperlukan suatu konsep perundang-undangan yang murni mengatur tentang
asuransi syariah. Kedudukan asuransi syari’ah adalah sesuai dengan ketentuan
KUHD khususnya memenuhi pengertian assuransi dalam Pasal 246 KUHD
maupun memenuhi unsur unsur perjanjian dalam ketentuan Pasal 1320 KUH
Perdata dengan adanya sepekat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan
untuk membuat perjanjian, Suatu Hal tertentu, suatu sebab yang halal serta
dua azas asuransi yaitu azas keseimbangan dan azas pemberitahuan | en_US |