DIMENSI PERNYAIAN DAN JUGUN IANFU DALAM NOVEL MIRAH DARI BANDA KARYA HANNA RAMBE : KAJIAN FEMINISME EKSISTENSIALIS
Abstract
Dimensi Pernyaian dan Jugun Ianfu dalam Novel Mirah dari Banda
Karya Hanna Rambe : Kajian Feminisme Eksistensialis; Yuddy Pramana,
080110201024; 2013: 388 halaman; Jurusan sastra Indonesia Fakultas Sastra
Universitas Jember.
Novel Mirah dari Banda karya Hanna Rambe mengungkapkan
masalah tentang kehidupan masyarakat pribumi, khusunya perempuan dalam
masa penjajahan kolonial Belanda dan Jepang. Analisis terhadap novel Mirah
dari Banda menggunakan teori struktural yang ditekankan pada analisis
feminisme eksistensialis. Alasan memilih judul tersebut karena kajian
feminisme sesuai dengan permasalahan yang terkandung dalam novel tersebut.
Unsur-unsur struktural yang dipilih penulis meliputi tema, penokohan dan
perwatakan, konflik, serta latar. Teori Feminisme Eksistensialis yang
ditekankan pada novel Mirah dari Banda antara lain: perjuangan perempuan
dalam mencapai kebebasan.
Penelitian dilakukan dengan langkah-langkah yang telah ditentukan
meliputi: memperoleh data, mengolah dan mengklasifikasikan data,
menganalisis dengan pendekatan struktural, dan terakhir menganalisis dengan
pendekatan feminisme. Sistematika pembahasan antara lain pendahuluan,
gambaran umum, analisis struktural, analisis feminisme eksistensialis, dan
kesimpulan. Gambaran umum dalam novel Mirah dari Banda adalah sejarah
dan kehidupan masyarakat Banda. Tema Mayor dalam novel Mirah dari
Banda karya Hanna Rambe adalah perempuan yang mengalami penindasan
menyebabkan dirinya tidak sederajat dengan kaum laki-laki. Tema minor
dalam novel Mirah dari Banda adalah perubahan status sosial seseorang
karena keadaan dan usaha pengungkapan jati diri seseorang yang memiliki
keterkaitan dengan zaman penjajahan.
Tokoh dibagi menjadi dua yaitu tokoh utama dan tokoh bawahan.
Tokoh utama dalam novel Mirah dari Banda karya Hanna Rambe adalah
Mirah. Mirah memiliki watak datar atau flat character, dari awal penceritaan
sampai akhir cerita Mirah tidak mengalami perubahan watak. Tokoh bawahan
pada novel Mirah dari Banda yang paling dominan adalah Wendy dan Lili.
Watak tokoh Wendy datar atau flat character, karena dari awal sampai akhir
penceritaan Wendy tidak mengalami perubahan watak. Watak tokoh Lili
adalah datar atau flat character karena dari awal hingga akhir cerita tidak
mengalami perubahan watak.
Konflik dalam novel Mirah dari Banda yaitu terdiri dari konflik fisik
dan konflik batin. Konflik fisik manusia dengan manusia dialami oleh tokoh
Mirah dengan Tuan Besar. Konflik batin antara ide satu dengan ide yang
lainnya dialami oleh tokoh Mirah dengan Lawao. Konflik seseorang dengan
kata hatinya dialami Mirah dan Tuan Besar. Latar terdiri dari latar temapat,
latar waktu dan latar sosial. Latar tempat yang paling banyak di ceritakan
dalam novel Mirah dari Banda adalah di pulau Bandaneira. Sedangkan latar
waktunya terjadi di pagi hari, siang hari, sore hari, dan malam hari. Latar
sosial dalam novel Mirah dari Banda ini terdapat pada pandangan hidup
orang Belanda yang menganggap budak, kuli kontrak, dan Nyai memiliki
derajat yang sangat rendah.
Analisis feminisme eksistensialis dialami oleh tokoh Mirah dan Lili
yang memperjuangkan hak-haknya sebagai perempuan. Peneliti memfokuskan
pada masalah perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dalam
penerimaan perlakuan fisik dan batin. Dalam novel Mirah dari Banda
perjuangan Mirah untuk memperoleh kebebasan di mulai pada saat dirinya
memperoleh perlakuan tidak baik oleh kaum laki-laki pada saat menjadi buruh
kontrak dan Nyai. Selain itu ada juga perjuangan Mirah pada saat membela
vii
kedua anaknya dari tentara Jepang dan perjuangan Mirah mempertahankan
perekonomian Banda pasca kemerdekaan. Perjuangan Mirah pada saat
menjadi buruh kontrak adalah pada saat ia melakukan perlawanan terhadap
Marinyo yang ingin berbuat tidak sopan kepadanya. Perjuangan Mirah pada
saat menjadi Nyai adalah Mirah yang ingin mengakhiri statusnya sebagai
seorang Nyai. Perjuangan Mirah yang ingin membela anaknya adalah saat ia
tidak merelakan Weli dan Lili menjadi budak Jepang. Perjuangan Mirah pasca
kemerdekaan adalah ketika ia berusaha menanam lagi buah pala demi
membangkitkan perekonomian di Banda. Perjuangan Lili untuk memperoleh
kebebasan adalah Lili yang berusaha untuk berhenti menjadi jugun ianfu di
temapt hiburan tentara Jepang. Analisi gender pada novel Mirah dari Banda
terdiri dari subordinasi, kekerasan, dan stereotipe. Subordinasi dalam novel
Mirah dari Banda dialami oleh Yu Karsih yang menjadi Nyai Tuan Besar
dikarenakan faktor keterpaksaan. Stereotipe dalam novel Mirah dari Banda
berasal dari anggapan Watimah jika perempuan hanya ditakdirkan untuk
menjadi budak laki-laki. Kekerasan dalam novel Mirah dari Banda di alami
oleh Mirah terhadap perlakuan laki-laki.