KUMPULAN PUISI AKU INGIN JADI PELURU KARYA WIJI THUKUL: TINJAUAN SEMIOTIK
Abstract
“Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul: Tinjauan
Semiotik”; Moh. Anas Irfan, 060110201041; 167 halaman; Jurusan Sastra Indonesia
Fakultas Sastra Universitas Jember.
Kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru merupakan kumpulan lima subbab berisi
140 puisi. Peneliti membahas lima judul puisi pada kumpulan puisi Aku Ingin Jadi
Peluru karya Wiji Thukul, kelima puisi tersebut yaitu: (1) „Nyanyian Akar Rumput‟;
(2) „Kuburan Purwoloyo‟; (3) „Ayolah Warsini‟; (4) „Bunga dan Tembok‟; dan (5)
„Kemarau‟. Kelima judul tersebut mengungkapkan realitas sosial rakyat kecil dan
penguasa pada masa pemerintahan Orde Baru. Tujuan penelitian ini mendeskripsikan
unsur dan keterjalinan antarunsur struktur yang membangun kelima judul puisi
tersebut dengan menggunakan pendekatan semiotik. Metode yang digunakan yaitu
metode penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan struktural
dan semiotik.
Analisis struktural meliputi tema, diksi, dan bunyi menunjukkan adanya
keterjalinan yang dapat membentuk makna yang utuh dalam kelima puisi tersebut.
Berdasarkan analisis semiotik ditemukan ketidaklangsungan ekspresi yang meliputi
penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti. Penggantian arti pada puisi
„Nyanyian Akar Rumput‟ menggunakan personifikasi, metafora, dan sinekdoke pars
pro toto. Penggantian arti pada Puisi „Kuburan Purwoloyo‟ menggunakan sinekdoke
pars pro toto, metonimia, hiperbola, dan metafora. Penggantian arti pada puisi
„Ayolah Warsini‟ menggunakan metafora dan sinekdoke pars pro toto. Penggantian
arti pada puisi „Bunga dan Tembok‟ menggunakan metafora dan sinekdoke totem pro
parte. Penggantian arti pada puisi „Kemarau‟ menggunakan metafora, hiperbola, dan
personifikasi. Penyimpangan arti kelima judul puisi tersebut menggunakan
ambiguitas. Penciptaan arti pada kelima puisi tersebut menggunakan enjambment.
Secara heuristik kelima puisi tersebut menggunakan konvensi bahasa Indonesia.
Pembacaan hermeneutik kelima puisi tersebut mengungkapkan protes sosial rakyat
vii
kecil terhadap penguasa pada masa pemerintahan Orde Baru. Matriks puisi
„Nyanyian Akar Rumput‟ terdapat pada frasa “nyanyian akar rumput” yang kemudian
dikembangkan ke dalam model frasa “akar rumput”. Frasa tersebut diperluas dalam
bentuk varian-varian, yaitu: (1) kami terusir; (2) mendirikan kampung; (3) kami
pindah-pindah; (4) kami rumput; (5) butuh tanah; dan (6) ayo gabung ke kami.
Matriks puisi „Kuburan Purwoloyo‟ terdapat pada frasa “kuburan purwoloyo” yang
dikembangkan ke dalam model kata “kuburan”. Kata tersebut diperluas dalam bentuk
varian-varian, yaitu: (1) yang mati di rumah; (2) yang mati terkejut; (3) sepanjang
hidupnya memburuh; (4) dan keadilan masih saja hanya janji; dan (5) :sejarah belum
berubah. Matriks puisi „Ayolah Warsini‟ terdapat pada frasa “ayolah Warsini” yang
dikembangkan ke dalam model kata “Warsini”. Kata tersebut diperluas dalam bentuk
varian-varian, yaitu: (1) seharian berdiri di pabrik; (2) kamu menyelipkan moto; (3)
potong rambut lagi; (4) kamu nanti jadi Mbok Bodong; dan (5) kita akan latihan
sandiwara lagi. Matriks puisi „Bunga dan Tembok‟ terdapat pada frasa “bunga dan
tembok” yang dikembangkan ke dalam model kata “bunga”. Kata tersebut diperluas
dalam bentuk varian-varian, yaitu: (1) kami adalah bunga / yang tak kaukehendaki
adanya; (2) engkau lebih suka membangun / rumah dan merampas tanah; (3)
dirontokkan di bumi kami sendiri; dan (4) telah kami sebar biji-biji. Matriks puisi
„Kemarau‟ terdapat pada kata “kemarau” kemudian dikembangkan dalam model kata
“bangkai”. Kata tersebut diperluas dalam bentuk varian-varian, yaitu: (1) ember
kosong; (2) gentong melompong; (3) ada lalat hijau; (4) kita telah membusuk diamdiam.
Kelima judul puisi dalam kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji
Thukul merupakan puisi yang diangakat dari realitas kehidupan pada masa
pemerintaha Orde Baru yang sedang menggalakan program pembangunan yang
mengakibatkan penggusuran, kematian, perburuhan, sehingga memunculkan dendam
rakyat terhadap penguasa, serta muncul kesenjangan sosial yang terjadi antara rakyat
dan penguasa