dc.description.abstract | Akhir-akhir ini di dalam masyarakat banyak sekali terjadi kasus anak yang dilahirkan diluar perkawinan. Pada dasarnya hubungan anak tersebut dengan laki-laki yang membenihkannya dan keluarganya dalam lapangan hukum keluarga dianggap tidak ada, sehingga dalam hal ini tidak ada hukum waris antara keduanya hal ini dianut baik dalam Kompilasi Hukum Islam maupun Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Hal itu mendorong para pembuat Undang-undang khususnya Kitab Undangundang Hukum Perdata membuat suatu lembaga pengakuan, yang menimbulkan akibat hukum terhadap si anak termasuk dalam hal ini hak waris anak luar kawin yang diakui tersebut. Namun, permasalahan justru timbul apabila si ayah tidak bersedia untuk mengakui anaknya, bagaimana perlindungan hukum terhadap si anak tersebut. Dalam Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan yang sah hanya memiliki nasab dengan ibu dan keluarga ibunya (Pasal 100 KHI), sehingga anak luar kawin tersebut hanyalah mewarisi dari ibu dan keluarga ibunya (Pasal 186 KHI). Hal
ini juga berlaku untuk pernikahan sirri karena pada prinsipnya setiap perkawinan harus didaftarkan/dicatatkan (Pasal 5 ayat 1 KHI). Terdapat perbedaan dan persamaan mengenai status hak waris anak luar kawin tersebut. Baik Kompilasi Hukum Islam maupun Hukum Perdata masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dalam hal pengaturan mengenai anak luar kawin ini. Namun, pada dasarnya Kompilasi Hukum Islam tetap lebih memberikan perlindungan hukum kepada si anak. Bagi para pembuat peraturan dan penegak hukum, baik dalam Kompilasi Hukum Islam maupun Hukum Perdata hendaknya kembali memperbaharui peraturan agar dihasilkan ketentuan yang lebih tegas mengenai pengakuan anak luar kawin yang juga berdampak kepada kepastian hukum mengenai bagian warisnya. | en_US |