REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA
Abstract
Undang-Undang Dasar 1945 (pasca amandemen) tidak jelas mengatur tentang
kedudukan dan tata hubungan kerja antara Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan
Komisi Yudisial di Indonesia. Pengaturan ketiga lembaga tersebut dalam UUD 1945
ditempatkan dalam Chapter (Bab) dan judul (title) yang sama, yaitu: Bab IX tentang
Kekuasaan Kehakiman. Pengaturan yang demikian ini memberikan kesan bahwa
ketiganya merupakan lembaga yudikatif. Akan tetapi dengan adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 yang terkait dengan pengujian Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, ratio decidendi Majelis menyatakan,
bahwa kedudukan Komisi Yudisial bukanlah sebagai pemegang kekuasaan yudikatif,
akan tetapi hanya supporting atau auxiliary state body (lembaga penunjang) saja.
Komisi Yudisial tidak dapat disetarakan sebagai main state body (lembaga negara
utama). Dalam praktik, penafsiran Mahkamah Konstitusi yang demikian ini tentu saja
berdampak pada tumpulnya fungsi pengawasan (control) Komisi Yudisial terhadap
praktik-praktik peradilan yang korup (mafia peradilan). Komisi Yudisial tidak dapat
menjangkau praktik-praktik mafia peradilan, baik di lingkungan Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi. Walaupun pada saat sekarang, setelah melewati dinamika konflik
dengan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial sudah berangsur-angsur dapat menjalankan
fungsi pengawasannya, tetapi dalam praktik, perbedaan-perbedaan pandangan antara
Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung terkait dengan implementasi fungsi
pengawasan Komisi Yudisial masih belum optimal. Objek pengawasan Komisi Yudisial
pun juga dibatasi hanya pada perilaku hakim di bawah Mahkamah Agung. Konstruksi
Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang hanya mengarahkan kewenangan Komisi Yudisial
untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim,
juga memberikan dampak, disorientasi fungsi Komisi Yudisial dalam mencegah dan
memberantas praktik-praktik kotor dan korup di pengadilan. Ini disebabkan, karena
faktanya, praktik mafia peradilan ternyata tidak hanya melibatkan oknum hakim an sich,
akan tetapi juga dapat melibatkan unsur panitera, pegawai peradilan, jaksa, advokat,
dan lain-lain. Undang-Undang Dasar 1945, rasanya tidak memadai mengkonstruksi
norma Pasal 24B ayat (1) yang hanya memfokuskan objek pengawasan Komisi Yudisial
hanya pada perilaku hakim saja, dan itupun terbatas hakim di bawah Mahkamah Agung
dan di luar Mahkamah Konstitusi.
Collections
- Fakultas Hukum [157]