Show simple item record

dc.contributor.authorRiski Nalandari
dc.date.accessioned2013-12-06T02:58:20Z
dc.date.available2013-12-06T02:58:20Z
dc.date.issued2013-12-06
dc.identifier.nimNIM040910101149
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/5528
dc.description.abstractTingginya keterwakilan perempuan perempuan Irak dalam parlemen pada pemilu 2005 disebabkan adanya faktor intervensi Amerika Serikat, yang dimulai sejak masa pendudukan Amerika Serikat di Irak pada tahun 2003. Kedatangan Amerika Serikat tersebut memberi harapan baru bagi perempuan di Irak yang berharap akan adanya perbaikan terhadap peran dan keterwakilan mereka di dalam masyarakat, juga di dalam pemerintahan Irak. Tidak hanya bertepuk sebelah tangan, keinginan para perempuan Irak tersebut sejalan dengan niat dari pemerintah Amerika Serikat yang ingin menciptakan adanya equal opportunity pada semua level kehidupan bagi perempuan di Irak. Dalam meningkatkan peran perempuan, Amerika Serikat melakukan berbagai upaya-upaya tertentu yang dapat mempengaruhi terwujudnya peningkatan keterwakilan perempuan yang disebut sebagai affirmative action. Dalam melaksanakan upayanya, Amerika Serikat menggunakan dua strategi affirmative action, yaitu strategi soft affirmative action, yang berupa upaya dari pemerintah Amerika Serikat untuk memperbaiki mutu pendidikan dan kualitas para perempuan Irak, termasuk peningkatan kemampuan perempuan Irak dalam segala bidang, dan juga wawasan perempuan Irak, sehingga perempuan di Irak bisa diakui kemampuannya di dalam masyarakat. Soft affirmative action ini diwujudkan melalui kerjasama dengan berbagai lembaga, yaitu: 1. Iraqi Womens Democracy Initiative (WDI) Program yang dilaksanakan oleh IWDI mencakup pendidikan untuk lokakarya advokasi demokrasi, kepemimpinan dan politik, proyek kewirausahaan, dan pelatihan jurnalistik bagi para perempuan Irak. 2. National Endowment for Democracy (NED) NED mendukung proyek-proyek di Irak yang bertujuan untuk memperoleh kapasitas hak asasi manusia dan hak asasi perempuan pada khususnya. 3. National Democratic Institute (NDI) NDI bertujuan untuk meningkatkan kepemimpinan dan efektivitas perempuan dalam lembaga dan proses demokrasi. 4. International Republican Institute (IRI) Bagi perempuan Irak, IRI menyediakan bantuan teknis dan saran-saran pada pelatihan kampanye, pelatihan membangun koalisi, dan pelatihan pemungutan suara. 5. United States Institute of Peace (USIP) USIP di Irak mendukung organisasi-organisasi masyarakat sipil yang meningkatkan partisipasi perempuan Irak dalam kehidupan publik (perempuan dan resolusi konflik, pembuatan konstitusi, dan antar-etnis dialog). 6. United States Agency for International Development (USAID) USAID telah menerapkan beberapa program yang bertujuan untuk memberikan landasan bagi perempuan untuk transisi menuju demokrasi Irak. Tidak hanya melakukan upaya perbaikan kualitas para perempuan melalui berbagai pelatihan dan pembekalan saja (soft affirmative action), untuk menjamin adanya keterwakilan perempuan Irak dalam parlemennya, pemerintah Amerika Serikat juga melaksanakan strategi hard affirmative action, yaitu dengan menetapkan kuota keterwakilan perempuan di dalam parlemen Irak sebesar 25 persen. Kuota keterwakilan perempuan sebesar 25 persen ini tercantum di dalam The Transitional Administrative Law (TAL), pada Bab 4 pasal 30 pada tahun 2005, yang memungkinkan adanya keterwakilan perempuan di dalam parlemen Irak pada pemilu 15 Desember 2005 untuk memilih anggota Majelis Nasional Irak (Parlemen Irak). Upaya-upaya intervensi pemerintah Amerika Serikat dalam bentuk soft affirmative action dan hard affirmative action yang dilaksanakan sejak 2003 hingga 2005 inilah yang penulis yakini mampu menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah keterwakilan perempuan dalam parlemen pada pemilu 2005 di Irak. Sekarang perempuan di Irak semakin bisa membuktikan kemampuannya di masyarakat, serta semakin mendapat kepercayaan dari masyarakat. Hal ini terbukti dari hasil pemilu 2010, dimana dari 325 kursi di parlemen, perempuan berhasil menempati 82 kursi di antaranya, atau sekitar 25,23 persen. Lebih jauh lagi, perempuan telah menempati posisi di dalam kabinet menteri. Pada tahun 2006, dari 37 menteri, 4 di antaranya adalah perempuan.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries040910101149;
dc.subjectPEREMPUAN, PARLEMEN, PEMILUen_US
dc.titleKETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM PARLEMEN IRAQ PADA PEMILU 2005en_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record