KONFLIK “PEJUANG TANAH” DI DESA CURAHNONGKO KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER TAHUN 1998–2007
Abstract
Tahun 1998 merupakan masa transisi peralihan dari masa Orde Baru
menuju reformasi. Hal ini membuat masyarakat tersadar lapisan bawah dan berani
melawan pemerintah demi mendapat keadilan. Kebanyakan dari mereka adalah
petani yang merasa dirampas lahan pertaniannya oleh pemerintah. Seperti yang
terjadi di Desa Curahnongko, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember. Petani
di Desa Curahnongko berusaha mengambil kembali tanah yang dianggap sebagai
warisan nenek moyang (reklaiming). Berawal dari keputusan Pemerintah yang
menyatakan tanah seluas 357 ha sebagai tanah masyarakat Desa Curahnongko
akan tetapi hanya 25 ha yang mendapat sertifikat HGU di PTPN XII Kebun
Kalisanen. Keputusan ini membuat masyarakat Desa Curahnongko utamanya
yang tidak mampu sulit untuk mendapatkan pekerjaan karena tanah tersebut
bukan milik masyarakat melainkan dikelola oleh PTPN XII Kebun Kalisanen.
Kondisi Seperti ini membuat tokoh masyarakat di Desa Curahnongko merasa iba
dan mengadakan musyawarah mencari jalan keluar agar kehidupan masyarakat
Desa Curahnongko bertambah makmur. Pada tanggal 27 Juni 1998 diadakan
musyawarah desa yang dihadiri oleh seluruh masyarakat Desa Curahnongko.
Hasil dari musyawarah tersebut adalah adanya kerjasama antara masyarakat Desa
Curahnongko dengan PTPN XII kebun Kalisanen, kerjasama ini dikenal dengan
pola kemitraan. Pola kemitraan ini memanfaatkan areal tanah yang berada di barat
lapangan sampai timur lapangan Curahnongko, yang pohonnya sudah ditebang
oleh PT.Guna.
Pola kemitraan ini hanya berjalan tiga bulan karena ketika kemitraan tahap
pertama berjalan satu kali panen, tepat pada tanggal 30 September 1998 pola
kemitraan ini dibubarkan oleh beberapa orang yang mengaku kelompok
perjuangan. Lahan kemitraan diambil secara paksa, dengan pengerahan masa
secara besar-besaran, dengan mematok ulang tanah yang sudah ada
penggarapannya. Selain itu kelompok kemitraan diancam agar tidak melanjutkan
kemitraan dengan pihak kebun. Dibalik itu kelompok perjuangan, dalam rangka
memperjuangkan tanah banyak memberikan janji-janji kepada petani, bahwatanah yang digarap akan secepatnya menjadi hak miliknya, dismping itu
kelompok perjuangan mengadakan pemungutan liar kepada setiap penggarap.
Adanya pemungutan liar, daftar ulang, dan penggunaan uangnya tidak jelas, maka
beberapa tokoh perjuangan menyatakan keluar.
Pada 1 Januari 1999 kelompok perjuangan Jumain Cs mendirikan
organisasi Petani Perjuangan yang diketuai oleh Kyai Musri. Organisasi ini pada
awalnya berfungsi menampung seluruh aspirasi masyarakat. Tetapi lama-lama
organisasi ini merugikan masyarakat dengan pungutan liar dan penipuan
seritifikat. Serangkaian aksi terjadi ketika itu misalnya pembakaran posko Petani
Perjuangan, penebangan liar pohon karet milik perkebunan yang masih berusia 5
bulan, dan demonstrasi di gedung DPRD. Semua ini akibat dari ketidakpuasan
masyarakat terhadap tindakan yang di jalankan Petani Perjuangan, apalagi mereka
pernah bentrok dengan karyawan PTPN XII kebun Kalisanen.
Akhirnya masyarakat Desa Curahnongko yang merasa dirugikan tidak
tahan dengan tindakan yang dilakukan Petani Perjuangan. Mereka melaporkan
tindakan tersebut pada pihak yang berwajib. Polisi mengirimkan surat panggilan
pada tokoh-tokoh Petani Perjuangan, tetapi mereka tidak pernah hadir. Polisi pun
terpaksa menangkap mereka yang beberapa kali tidak pernah hadir. Proses hukum
itu berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku, setelah melalui proses hukum
yang cukup panjang akhirnya Jumain Cs dinyatakan bebas murni karena tidak
terbukti bersalah.