ETNOBOTANI PENGAWET DAN PEWARNA ALAMI OLEH MASYARAKAT USING DI KABUPATEN BANYUWANGI SERTA PEMANFAATANNYA DALAM PENYUSUNAN BUKU SUPLEMEN
Abstract
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tidak pernah terlepas dari proses
pengawetan dan pewarnaan karena bahan pengawet dan bahan pewarna memberikan
banyak keuntungan dalam penggunaannya. Dalam proses pemanfaatannya, bahan
pengawet dan pewarna terdiri dari bahan alami dan sintetis. Hal penting yang perlu
diperhatikan dalam penggunaan bahan pengawet dan pewarna adalah pemilihan
bahan pengawet dan pewarna yang aman dan tidak memberikan efek samping yang
membahayakan. Namun ternyata pengawet dan pewarna yang banyak digunakan saat
ini, khususnya untuk makanan sangat berbahaya. Bahan pengawet makanan yang
banyak digunakan saat ini berbahaya bagi kesehatan manusia, contohnya asam borak
(boric acid) atau boraks dan formalin (formaldehyde). Formalin sering digunakan
dalam proses pengawetan makanan, padahal formalin biasanya digunakan sebagai
pembunuh hama, pengawet mayat, bahan desinfektan pada industri plastik, busa, dan
resin untuk kertas. Bahan pewarna makanan yang juga berbahaya banyak digunakan
saat ini, contohnya Rhodamin B dan Methanyl Yellow. Rhodamin B biasanya
digunakan untuk mewarnai kertas, tekstil, dan reagensia sedangkan Methanyl Yellow
digunakan untuk pewarna tekstil dan cat. Selain dalam dunia pangan, dunia industri
juga menggunakan bahan tambahan untuk meningkatkan mutu hasil industrinya. Saat
ini, produsen tekstil lebih memilih menggunakan pewarna sintetis yang berbahaya
terhadap lingkungan dan kesehatan seperti napthol, diazonium salt (garam
diazonium) yang diketahui dapat menyebabkan kanker. Banyak ditemukannya bahan
pengawet dan pewarna sintetis yang berbahaya, maka masyarakat berinisiatif untuk
kembali menggunakan bahan pengawet dan pewarna alami karena hidup sehat
dengan cara back to nature saat ini sangat digemari. Indonesia memiliki banyak
tumbuhan yang dapat digunakan oleh suku-suku yang ada di Indonesia untuk
menghasilkan pengawet dan pewarna alami, termasuk masyarakat Using yang juga
menggunakan tumbuhan dalam proses pelaksanaan budaya lokal masyarakatnya.
Masyarakat Using di kabupaten Banyuwangi adalah salah satu kelompok masyarakat
yang masih memegang teguh budaya dan tradisi leluhurnya. Masyarakat Using
senantiasa berinteraksi dengan lingkungan alam, salah satunya adalah tumbuhtumbuhan
dalam
segala
kegiatan
yang
menyangkut
tradisi
dan
budaya
leluhurnya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tumbuhan-tumbuhan yang
digunakan oleh masyarakat Using di kabupaten Banyuwangi sebagai pengawet dan
viii
pewarna alami, baik untuk mengawetkan makanan dan kayu, juga untuk mewarnai
makanan, kain/tekstil, dan kayu; serta untuk mengetahui apakah hasil penelitian
tentang etnobotani pengawet dan pewarna alami oleh masyarakat Using di kabupaten
Banyuwangi layak dijadikan sebagai buku suplemen. Penelitian ini dilakukan di
empat desa yaitu desa Kemiren dan desa Olehsari kecamatan Glagah serta desa
Penataban dan desa Boyolangu kecamatan Giri kabupaten Banyuwangi. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian deskriptif eksploratif yang menggabungkan metode
penelitian kualitatif dan metode penelitian kuantitatif. Penentuan sampel dilakukan
dengan teknik Purposive sampling dan snowball sampling. Pengumpulan data
dikumpulkan melalui wawancara semi-structured dengan menggunakan tipe
pertanyaan open-ended. Analisis data dilakukan dengan identifikasi nama ilmiah dan
nama famili, analisis Use Value, dan analisis hasil validasi buku suplemen.
Diperoleh 8 spesies tumbuhan yang digunakan sebagai pengawet alami oleh
masyarakat Using yang termasuk dalam 7 famili, yaitu famili Araceae,
Menispermaceae, Dioscoreaceae, Rutaceae, Euphorbiaceae, Arecaceae, dan
Musaceae. Dari 8 spesies tumbuhan tersebut terdapat 4 spesies tumbuhan yang paling
banyak digunakan sebagai pengawet alami, yaitu pisang (Musa paradisiaca) yang
mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol yang berfungsi sebagai senyawa
antifungal alami pada tumbuhan, kecandik (tidak teridentifikasi), pinang (Areca
catechu L.) mengandung senyawa alkaloid arekolin yang memiliki efek antioksidan
dan antimutagenik, serta kemiri (Aleurites moluccana) yang mengandung saponin
dan polifenol. Selain itu, diperoleh 25 spesies tumbuhan yang digunakan sebagai
pewarna alami yang termasuk dalam 17 famili yaitu Araceae, Vitaceae, Arecaceae,
Euphorbiaceae, Lamiaceae, Fabaceae, Zingiberaceae, Meliaceae, Myrtaceae,
Rubiaceae, Lythraceae, Poaceae, Liliaceae, Musaceae, Piperaceae, Annonaceae,
Rhizophoraceae, dan Convolvulaceae. Dari 25 spesies tumbuhan tersebut terdapat 8
spesies tumbuhan yang paling banyak digunakan sebagai pewarna alami, yaitu
pandan betawi (Pleomele angustifolia) mengandung klorofil, pisang (Musa
paradisiaca) yang mengandung zat warna flavon dan flavonol, kunir/kunyit
(Curcuma longa L.) yang mengandung senyawa kurkuminoid yang memberikan
warna kuning, sabut kelapa (Cocos nucifera L.) yang mengandung zat warna merah
tanin, padi (Oryza sativa L.) yang mengandung pigmen warna antosianin, jati
(Tectona grandis L.) yang mengandung zat warna merah tanin, singkong/sawi
(Manihot utilissima) yang mengandung klorofil, dan manting (Syzygium polyanthum)
yang mengandung pigmen antosianin.
Buku suplemen yang berjudul “Sehat dengan Pengawet dan Pewarna Alami
Ala Using” termasuk dalam klasifikasi buku dengan pembintangan (*) yang
bermakna layak dengan predikat cukup dan buku suplemen tersebut dinyatakan
cukup valid dan perlu dilakukan revisi dengan meneliti kembali secara seksama dan
mencari kelemahan-kelemahan produk untuk disempurnakan sebagai buku pengayaan
pengetahuan.