Show simple item record

dc.contributor.authorARIES HARIANTO, S.H
dc.date.accessioned2014-01-29T21:40:32Z
dc.date.available2014-01-29T21:40:32Z
dc.date.issued2014-01-29
dc.identifier.nimNIM060720101004
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/27305
dc.description.abstractUndang-Undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ( UU PPHI ) merupakan jawaban atas berbagai persoalan tentang perselisihan hubungan industrial yang semakin meningkat dan komplek. UU PPHI ini diciptakan dan diundangkan sekaligus untuk mengganti UU No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta yang dianggap tidak lagi akomodatif dan kotra produktif dengan amanat reformasi. Sehingga dengan diterbitkannya UU PPHI ini diharapkan dapat diwujudkan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat adil dan murah. Undang-undang merupakan produk hukum yang dibuat oleh manusia, termasuk UU PPHI. Karena itu keberadaannya sarat dengan keterbatasan, terutama menyangkut kaidah normatif yang harus dipenuhi. Karena itu secara yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan kasus, penulis melakukan penelitian terhadap UU PPHI khususnya tentang mediasi hubungan industrial sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang kini sedang dikembangkan sebagai lembaga penyelesaian perselisihan yang murah, cepat, tepat dan adil dibandingkan penyelesaian perselisihan melalui lembaga peradilan pada umumnya. Penelitian ini dilakukan mengingat secara normatif dalam UU PPHI khususnya yang menyangkut mediasi hubungan industrial dimungkinkan terjadinya inkonsistensi hukum, konflik norma bahkan terjadinya keberpihakan hukum. Potensi keberpihakan ini potensial terjadi terutama jika perselisihan hubungan industrial tersebut terjadi di perusahaan dalam BUMN. Hasil penelitian menunjukan ternyata secara normatif ditemukan inkonsistensi hukum menyangkut mediasi hubungan industrial, dalam hal antara lain kerancuan pengertian antara mediasi dan konsiliasi, otoritas tunggal mediator yang dilakukan oleh pegawai Dinaskertrans, mediasi bukan lagi sebagai media alternatif, kewenangan mediator melebih porsi standart, ketidaklayakan persyaratan untuk menjadi mediator, konflik norma hingga intervensi pemerintah yang berlebihan dan bertolak belakang dengan hakikat mediasi hubungan industrial itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa perlu dilakukan revisi beberapa ketentuan dalam UU PPHI, khususnya mengenai konsistensi mediasi hubungan industrial dengan asas-asas mediasi sehingga konflik norma tidak akan terjadi dan mediator dapat merefleksi kenetralannya. Dengan demikian, preskripsi yang dihasilkan secara fungsional dapat memberikan kontribusi kepada semua pihak khususnya mereka yang mempunyai kompetensi baik di bidang hukum ketenagakerjaan maupun penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Di samping itu, penelitian diharapkan dapat menjadi sebuah pertimbangan bagi para legislatif yang bertugas untuk merevisi atau membuat peraturan perundangundangan.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries060720101004;
dc.subjectBADAN USAHA MILIK NEGARAen_US
dc.subjectIndustrialen_US
dc.titleASAS-ASAS MEDIASI HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM BADAN USAHA MILIK NEGARA THE PRINCIPLES OF INDUSTRIAL RELATIONSHIPMEDIATION ON STATE COMPANYen_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record