PASANG SURUT HUBUNGAN POLITIK AUSTRALIA – INDONESIA PADA TAHUN 1996 – 2007
Abstract
Pada periode kepemimpinan Perdana Menteri John Howard di Australia tahun
1996 - 2007, hubungan polit ik bilateral dengan Indonesia pada kenyataannya t idak
sebaik hubungan polit ik bilateral saat Austalia di bawah kepemimpinan Perdana
Menteri Paul Keating tahun 1991 - 1996. Berdasarkan pemahaman terhadap kasus
pasang surut hubungan bilateral Australia – Indonesia antara tahun 1996 – 2007,
diperoleh keterangan jelas tentang adanya reaksi-reaksi dari dua negara terkait isu-isu
sensit if. Selain itu, juga dapat diperhatikan bahwa Australia memainkan peranan yang
sangat besar dalam menentukan arah dan nasib hubungan bilateral. Hal tersebut
diindikasikan dengan adanya perubahan-perubahan kebijakan Australia terhadap
Indonesia selama kurun waktu tersebut. Perubahan sikap dan kebijakan Australia
terhadap Indonesia dirasakan pertama kali saat Indonesia menjadi negara yang
terpuruk karena krisis, yakni dengan keterlibatannya dalam permasalahan TimorTimur
pada tahun 1999. Kebijakan Perdana Menteri John Howard tentang TimorTimur
itu
ironis
dengan
sikapnya
sebelum
I
ndonesia terkena dampak krisis, yang saat
itu dirinya sering menghindari wacana tentang Timor-Timur. Pada masa selanjutnya,
hubungan bilateral ibarat terkena penyakit kronis. Sekalipun ada upaya normaslisasi
dan sekalipun hubungan bilateral t idak selalu dalam situasi buruk, antara kedua
negara masih sering diliputi sikap saling curiga. Di samping itu, kedua negara pada
akhirnya juga terkesan sering membenarkan pandangannya masing-masing. Isu-isu
terkait kedua negara menjadi lebih sensit if karena sulit nya t imbul persepsi yang sama
antara kedua negara. Apalagi, pihak yang sering berbenturan t idak hanya pada tataran
pemerintah, tetapi juga antara publik dan pemerintah, bahkan antara sesama publik.
Hanya dengan adanya tuntutan kebutuhan bersama, kedua negara menjadi
inseparable partner atau mitra yang tak terpisahkan, seperti dalam kasus memerangi
terorisme bersama. Namun tetap saja hingga kedua negara tidak mempunyai ikatan
melalui perjanjian yang menjamin kepent ingan bersama, sikap saling curiga pada
kenyataannya bukan hal yang asing bagi keduanya. Dalam kasus hubungan bilateral Australia – Indonesia, sikap dan kebijakan
luar negeri Australia sudah jelas merupakan faktor utama dalam mempengaruhi baik
tidaknya hubungan bilateral. Bukan dari Indonesia, karena pada kenyataannya
Indonesia sedang terus memperbaiki kondisi domestiknya pasca krisis, sehingga
pandangan ke luar tidak seoptimal Australia. Lagipula, Indonesia terlihat tidak terlalu
memusingkan Australia seperti Australia memusingkan Indonesia. Kebijakan
pemerintah Australia terhadap Indonesia, khususnya terkait dengan isu-isu bersama
akhirnya dapat diterjemahkan sebagai kebijakan dalam bentuk yang oportunis,
pragmatis dan konservatif.
Kebijakan pemerintah Australia dikatakan oportunis karena pada dasarnya
pemerintah Australia di bawah kepemimpinan Perdana Menteri John Howard tampak
lihai memanfaatkan kesempatan yang bagus untuk meraih keuntungan terbaik bagi
kepent ingan bangsanya. Ambil contoh dalam permasalahan Timor-Timur tahun 1999,
Perdana Menteri John Howard memanfaatkan peluang krisis di Indonesia untuk
mendukung referendum di Timor-Timur. Masih dalam sifat yang sama, Perdana
Menteri John Howard juga memanfaatkan peluang gempa di Yogyakarta pada Mei
2006 untuk berkomunikasi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah
hubungan bilateral memburuk karena masalah pemberian visa perlindungan
sementara kepada 42 warga Indonesia asal Papua oleh Departemen Imigrasi
Australia. Secara lebih general, sikap oprtunis pemerintah Australia, khususnya
Perdana Menteri John Howard, tampak jelas ketika akan menghadapi pemilihan
umum federal. Berbagai opini dan tekanan publik di Australia tampak dimanfaatkan
dengan baik oleh Perdana Menteri John Howard untuk meningkatkan popularitasnya.
Sekalipun harus merubah haluan kebijakan luar negeri dengan bersikap t idak
bersahabat terhadap Indonesia, Perdana Menteri John Howard tetap melakukannya
demi mempertahankan kekuasaannya. Seperti saat menghadapi pemilihan umum
tahun 2001, pemerintah Australia mengubah kebijakannya tentang imigran gelap
dengan menolak mereka memasuki wilayah Australia. Kemudian saat menghadapi
pemilihan federal tahun 2004, Perdana Menteri John Howard mengemukakan gagasan pre-emptive strike atau serangan mendahului terhadap teroris di negaranegara
Asia
Tenggara.
Selanjutnya pemerintah Australia dianggap pragmatis, karena pemerintah
Australia tampak menganut pandangan yang selalu membenarkan kebijakannya
dengan didasarkan bukti-bukti mendukung, serta berorientasi pada adanya manfaat
praktis untuk negaranya. Dalam permasalahan Timor-Timur sikap tersebut juga
tampak. Contoh lainnya tampak dalam kasus imigran gelap tahun 2001. Pemerintah
Australia menolak dengan keras imigran gelap dari Timur Tengah yang berupaya
memasuki wilayah Australia untuk mencari suaka polit ik. Di tengah penolakan itu,
pemerintah Australia, khususnya Perdana Menteri John Howard justru melakukan
diplomasi megafon dengan menyatakan bahwa masalah tersebut adalah tanggung
jawab Indonesia dan Norwegia. Dalam persoalan itu, pemerintah Australia jelas
bersikap pragmatis dan seolah t idak ingin menerima kerugian dan dampak sosial
lebih jauh untuk negaranya. Sikap pragmatis pemerintah Australia juga tampak saat
menanggapi permasalahan terorisme. Demi menciptakan keamanan di kawasan,
khususnya di negaranya, pemerintah Australia merasa perlu untuk memerangi
terorisme secara bersama. Demikian juga dalam masalah pemberian visa sementara
terhdap 42 warga Papua, sikap pragmatis pemerintah Australia masih tampak.
Sekalipun jelas mengetahui kalau pemberian visa sementara akan menyinggung
Indonesia, pemerintah Australia tetap bersikukuh membenarkan kebijakan tersebut
demi alasan menjalankan amanat konvensi PBB tahun 1951. Padahal pada kasus
imigran gelap tahun 2001, pemerintah Australia justru berani melanggarnya.
Selanjutnya, termasuk dalam permaslaahan nelayan tradisional, pemerintah Australia
juga bersikap pragmatis. Demi kedaulatan negara seutuhnya, pemerintah Australia
berupaya menekan dan seolah t idak memberi kesempatan nelayan tradisional
Indonesia untuk memasuki perairan utara Australia sekalipun berdasarkan fakta
historis, nelayan tradisional secara turun menurun telah melaukan akt ifitas kelautan di
perairan Australia serta berdasarkan MoU BOX 1974,