Penolakan Moro Islamic Liberalition Front (MILF) terhadap Damai antara Moro National Liberation Front (MNLF) dengan Pemerintah Filipina
Abstract
Konflik di Mindanao merupakan salah satu dari lima konflik utama di
wilayah Filipina semenjak kemerdekaannya. Konflik ini terkonsentrasi di wilayah
Muslim-majority antara lain : Minadanao Tengah dan Baratdaya, yang mana saat
ini terbagi atas tiga wilayah administratif (wilayah IX-Mindanao Barat, wilayah
XII-Mindanao Tengah, dan wilayah Otonomi Muslim Mindanau (ARMM)) dan
empat propinsi di wilayah XI-Mindanao Selatan (Davao del Sur;Sarangani;
Cotabato Selatan; dan Sultan Kudarat).
Setidaknya terdapat tiga faktor kunci yang menjadi akar permasalahan di
Mindanao. Yang pertama adalah perbedaan yang cukup besar akan economic
interests diantara kaum Kristen itu sendiri, economic and comercial elite dengan
mayoritas warga Kristen. Yang kedua lebih mengarah pada keberadaan kekerasan.
Konflik kronis diantara klan yang berbeda (atau biasa terjadi antara suku bangsa)
di dalam populasi Muslim, menggerakkan beberapa aksi kekerasan dan reaksi
militer yang sporadis. Dan yang ketiga, sebagaimana umumnya meluasnya
aktivitas banditry membingungkan aksi kekerasan yang sebenarnya dari kedua
belah pihak, pemerasan dan penculikan serta seringkali respon militer Filipina
yang tidak pandang bulu.
Dengan meningkatnya eskalasi pemberontakan MNLF pada 1970-an,
rezim Marcos menandatangani Kesepakatan Tripoli bersama MNLF dengan Libya
sebagai pihak perantara. Akan tetapi hal tersebut baru terlaksana saat Presiden
Corazon Aquino menjabat pada 1986, dan kembali Pemerintah Filipina menyalahi
kesepakatan. Hanya 4 dari 13 wilayah, yang dominan warganya beragama Islam,
dibentuk menjadi wilayah otonomi.
Presiden Fidel Ramos melanjutkan kebijakan para pendahulunya dan
mencapai keberhasilan dengan menandatangani kesepakatan damai pada
66September 1996 dikarenakan inisiatif perdamaian yang diajukannya saat MNLF
diketuai Nur Misuari. Perjanjian tersebut mensyaratkan pembentukan lembaga
internal yang disebut Southern Philippine Council for Peace and Development
(SPCPD), yang diketuai oleh Misuari, yang mana akan bertanggung jawab pada
supervisi dan koordinasi proyek pembangunan pada wilayah yang disebut Special
Zone for Peace and Development (SZOPAD).
Pada saat dilaksanakan Perjanjian damai 1996 Pemerintah Filipina hanya
mengajak MNLF untuk berunding sedangkan masih terdapat sejumlah entitas
yang seharusnya turut diajak duduk bersama dalam meja perundingan diantaranya
warga Lumad, warga Kristen dan MILF. Akibatnya pihak-pihak yang merasa
tidak diikutsertakan dalam proses perundingan tersebut menyatakan menolak dan
tidak mengakui keabsahan isi perjanjian damai tersebut. Salah satu kelompok
yang secara terbuka menyatakan penolakannya adalah MILF.
Disharmonisasi kontak sosial pemerintah dengan MILF menyebabkan
kesimpangsiuran dan tak ditemuinya titik temu sebagai solusi dari konflik Moro.
Upaya agar terjadi titik temu antara Pemerintah Filipina dengan MILF guna
menyelesaikan konflik Moro tidak lain adalah dengan diadakannya sejumlah
pertemuan perundingan yang cukup intens. Akan tetapi perundingan tersebut tidak
hanya dihadiri oleh pemerintah dengan MILF saja sebagaimana yang terjadi pada
Perjanjian Dami 1996 lalu yang hanya dihadiri oleh Pemerintah Filipina dan
MNLF, melainkan harus juga dihadiri oleh kelompok-kelompok non-muslim dan
juga MNLF bahkan kelompok Abu Sayaf. Dengan duduknya pihak-pihak yang
berperan dalam terjadinya konflik di wilayah Moro dan dengan ditunjang oleh
keinginan untuk menyelesaikan konflik dari masing-masing pihak pasti akan
terdapat suatu titik temu menyangkut permasalahan Moro.