PERLAWANAN PETANI TERHADAP RENCANA PEMBANGUNAN WADUK NIPAH DI KECAMATAN BANYUATES KABUPATEN SAMPANG MADURA TAHUN 1993
Abstract
Mengamati gerakan protes petani delapan desa terhadap proyek
pembangunan waduk Nipah yang sudah dijelaskan dalam bab-bab terdahulu dapat
ditarik kesimpulan bahwa ikatan emosional penduduk delapan desa dengan tanah
yang dimilikinya masih begitu kuat, sehingga ketika pemerintah ingin
mewujudkan pembangunan waduk mendapat tentangan dari masyarakat. Hal ini
dikarenakan di atas tanah-tanah milik penduduk yang hendak dijadikan waduk
banyak terdapat kuburan-kuburan leluhur mereka yang sudah meninggal. Kondisi
ini semakin diperparah oleh ketidakmengertian aparat pemerintah terhadap
budaya masyarakat Madura, terutama penduduk delapan desa. Hal-hal sensitif
yang bersentuhan dengan ego atau harga diri masyarakat Madura seringkali
dilanggar. Kiai, makam (buju’), tanah, dan agama adalah bagian dari harga diri
orang Madura yang mereka pertahankan. Ketika orang luar sengaja atau tidak
disengaja menyentuh permasalahan ini, maka masyarakat Madura akan
menujukkan sikap penentangan. Tidak peduli apakah yang melecehkan itu
mempunyai posisi dalam struktur pemerintah atau tidak, masyarakat Madura akan
tetap menentang.
Akan tetapi, kalau kita lihat dari penjelasan dan uraian dalam bab 3
gerakan protes petani pemilik tanah delapan desa terhadap rencana pembangunan
waduk Nipah tidak serta merta dilakukan oleh mereka. Ini diawali sikap Tim
pengukur tanah dari Badan Pertanahan Nasional yang kurang berkenan dalam
norma petani pemilik pada saat membebaskan tanah untuk pembangunan waduk.
Dengan seenaknya Tim pengukur tanah memasang patok-patok merah guna
menunjukkan batas-batas rencana pembangunan waduk di atas lahan petani tanpa
meminta ijin pemiliknya. Ketika proses pengukuran tanah berjalan tersendatsendat
bupati
Sampang
memberikan
intruksi pada
Polres dan Koramil
untuk
mendampingi
Tim
pengukur
tanah
dalam
pelaksanaannya.
Akibatnya
penduduk
petani delapan desa menjadi resah. Mereka merasa khawatir aparat keamanan dari
Polsek dan Koramil akan melakukan tindak kekerasan dalam proses pengukuran
tanah jika penduduk tidak mau diukur tanahnya.
Keresahan penduduk delapan desa semakin meningkat ketika, beberapa
tokoh mereka ditangkap dan di bawa ke Koramil, dan pada saat penangkapan
tersebut kepala desa memaksa penduduk delapan desa untuk menandatangani
surat yang menurut mereka berisi pernyataan bahwa jika mereka menandatangani
surat ini, maka pengukuran tanah akan dihentikan. Akan tetapi, setelah penduduk
memberikan tanda tangan, beberapa hari kemudian Tim pengukur tanah dengan
didampingi oleh aparat Polsek dan Koramil kembali lagi melakukan pengukuran
di atas lahan penduduk, dan ternyata surat yang sudah ditandatangani oleh
penduduk tersebut berisikan persetujuan bahwa penduduk tidak merasa keberatan
tanahnya diukur. Hal ini ditambah lagi adanya ancaman dari kepala desa bahwa
siapa saja yang tidak mau tanahnya diukur akan dihukum.