ASIMILASI ETNIS TIONGHOA KETURUNAN
Abstract
Proses integrasi masyarakat etnis Tionghoa keturunan di Bondowoso dalam
kehidupan bersama dengan masyarakat Madura sedikit banyak membawa implikasi
terhadap kehidupan masyarakat baik bagi masyarakat etnis Tonghoa keturunan
sendiri maupun masyarakat Madura. Dampak yang nyata akibat integrasi masyarakat
etnis Tionghoa keturunan dengan masyarakat Madura adalah adanya asimilasi budaya
(akulturasi), dan asimilasi perkawinan.
Ada banyak hal yang membentuk asimilasi seperti, perilaku ekonomi,
pendidikan, dan pergaulan. Ketiga hal tersebut dapat membentuk asimilasi karena
dapat mengarahkan etnis Tionghoa keturunan untuk melakukan interaksi secara
langsung dengan masyarakat lokal. Mereka dapat saling bertukar pikiran dalam
banyak hal baik menyangkut kehidupan sehari-hari, menurut sudut pandang masingmasing
etnis maupun kebiasaan atau budaya mereka, sehingga dari sini akan terjadi
saling memahami diantara etnis berbeda. Hal ini akan membuka wawasan bagi
mereka, terutama bagi etnis Tionghoa yang memiliki eksklusifisme dan etnosentrisme
yang tinggi.
Perubahan pola kebudayaan etnis Tionghoa keturunan tidak hanya terjadi
pada perubahan pemakaian bahasa lokal dalam komunikasi sehari-hari, tetapi terjadi
juga dalam hal dalam keyakinan agama. Banyak di antara etnis Tionghoa keturunan
di dua desa memeluk agama Islam yang menjadi agama mayoritas masyarakat lokal.
Agama Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas pribumi di Kabupaten
Bondowoso dapat berfungsi sebagai faktor pendorong bagi terciptanya asimilasi
muslim Tionghoa terhadap pribumi, yang dibuktikan oleh berbagai aspek tingkahlaku
kemasyarakatan
seperti;
minoritas
muslim
Tionghoa
diterima
baik
oleh
pribumi.
Bahkan
etnis
Tionghoa
yang beragama islam semakin meningkat sekitar 57,1 persen
di daerah blindungan dan didaerah Debesah mencapai 78,3 persen. Dalam perubahan
agama ini orang Tionghoa keturunan masuk dalam jajaran elit keagamaan, yaitu
menjadi kiai. Sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam bab 3, salah satu etnis
Tionghoa yang dianggap masyarakat lokal sebagai da’i (penceramah agama) adalah
H. Oentono. Dengan posisinya sebagai elit agama secara otomatis mempengaruhi
perubahan pola kebudayaan etnis Tionghoa keturunan di Bondowoso.
Perubahan pola kebudayaan etnis Tionghoa keturunan di Bondowoso
didukung juga oleh keberadaan tempat tinggal etnis Tionghoa keturunan yang
menyebar dan berdampingan dengan penduduk lokal. Hasil temuan di lapangan
diperoleh, tidak ada wilayah yang khusus yang ditempati oleh etnis Tionghoa
keturunan. Dengan kata lain di Kecamatan Bondowoso tidak ditemukan adanya
kampung pecinanan yang biasanya menjadi tempat khusus bagi etnis Tionghoa
keturunan bertempat tinggal. Kondisi tersebut berdampak pada hubungan yang
harmonis di antara penduduk lokal dengan etnis Tionghoa keturunan. Dampak
adanya asimilasi ini adalah terhindarnya Kabupaten Bondowoso dari kerusuhan rasial
di daerah-daerah yang meningkat pada tahun 1998. Kehidupan etnis Tionghoa di
Kecamatan Bondowoso tetap aman dan tenteram. Pada tahun 1998 sampai tahun
2003 asimilasi etnis Tionghoa keturunan di Bondowoso semakin meningkat, serta di
ikuti dengan adanya kawin campur (amalgamasi) yang mencapai 83,2 persen
penduduk etnis Tionghoa keturunan yang melakukan kawin campur dengan
penduduk mayoritas yakni masyarakat Madura dan Jawa, sehingga terjalin hubungan
yang harmonis