dc.description.abstract | Orang-orang Cina adalah orang-orang non pribumi di Karesidenan Besuki, namun meskipun sebagai etnis non pribumi, sebenarnya mereka sejak abad ke -18 sudah mendiami wilayah Ujung Timur Jawa, bahkan sudah menjadi penguasa di tanah-tanah partikelir di wilayah Ujung Timur Jawa. Penelitian ini menitikberatkan pada permasalahan mengapa orang-orang Cina berhasil menjadi penguasa di wilayah Ujung Timur Jawa pada akhir abad XVIII- Awal Abad XIX, faktor-faktor apa yang dapat menjelaskannya, bagaimana hubungan antara para penguasa Cina tersebut dengan pemerintah kolonial Belanda, dan hubungan antara para penguasa Cina dengan penduduk pribumi, dan apa dampak yang timbul akibat penguasaan tanah partikelir oleh etnis Cina terhadap para birokrat pemerintahan pribumi dan penduduk pribumi. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan historis, yang memungkinkan untuk mengungkap bagaimana strategi yang digunakan oleh orang-orang Cina pada masa lalu sehingga bisa menduduki jabatan-jabatan dalam birokrasi pemerintahan di wilayah ujung timur Jawa, sehingga data yang digunakan adalah data sejarah. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan penelitian arsip dan laporan-laporan dari pemerintah kolonial, dan data sekunder dikumpulkan dari berbagai tempat dan meliputi karya-karya terpublikasi, hasil penelitian, jurnal dll.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ternyata ada perbedaan dan persamaan antara orang-orang Cina pemegang kontrak (tuan tanah Cina), dengan orang-orang Cina sebagai penguasa. Hal ini dibedakan oleh cara perolehan tanah-tanah luas dan cara perolehan kekuasaan. Cina pemegangang kontrak memperoleh hak pengelolaan atas tanah-tanah luas milik pemerintah dengan cara menyewa atau membeli dari pemerintah kolonial, sedangkan Cina penguasa adalah orang-orang Cina yang diangkat sebagai kepala suatu daerah karena jasanya kepada pemerintah kolonial. Namun dalam mengelola distrik sewaan dengan daerah kekuasaan seorang bupati Cina jauh berbeda. Ke dua jenis daerah tersebut dikelola secara feodal, dimana tuan tanah Cina maupun penguasa Cina menganggap bahwa tanah tersebut adalah miliknya, sehingga muncul di belakang hari Cina tuan tanah menginginkan diperlakukan penduduknya maupun oleh penguasa kolonial seperti penguasa-penguasa sebelumnya. Misalnya yang terjadi di Probolinggo. Tindakan ini akhirnya menimbulkan keresahan dan perasaan tidak puas yang akhirnya menimbulkan pemberontakan terhada tuan tanah Cina.
Berdasarkan temuan dalam penelitian saran yang perlu disampaikan adalah perlunya belajar dari sejarah di dalam memilih seorang pemimpin atau pejabat. Di dalam alam demokrasi dan era otonomi daerah masyarakat berhak memilih pemimpin atau pejabat di daerahnya masing-masing. Misalnya dalam pemilihan seorang bupati, seharusnya dipilih sosok yang benar-benar mempunyai komitmen kepada rakyat, dan tidak mementingkan kepentingan pribadi dan golongan. Contoh dalam sejarah memang para penguasa Cina tidak semuanya sukses sebagai penguasa, tetapi ternyata mereka juga mampu berperan di bidang politik dan pemerintahan seperti yang telah terjadi di Kabupaten Besuki (Puger) di masa yang lalu. Oleh karena itu
pemilihan pemimpin dengan hanya melihat etnis seyogyanya diminimalkan.
Kata Kunci : etnis non pribumi, strategi | en_US |