dc.description.abstract | Indonesia merupakan negara agraris, dimana mayoritas masyarakatnya memiliki
profesi sebagai petani. Oleh karenanya, bagi masyarakat Indonesia air dianggap sebagai
bagian penting dari pola kehidupan agraris. Sedemikian pentingnya peran air irigasi
bagi kehidupan masyarakat akhirnya timbullah nilai-nilai kearifan lokal yang mengatur
mengenai pengelolaan air irigasi. Ketaatan masyarakat terhadap norma-norma sosial
tersebut akhirnya menumbuhkan lembaga adat yang mengelola air irigasi.
Pada perkembangannya, lembaga adat semakin kehilangan eksistensi dengan
adanya lembaga-lembaga formal yang dibentuk oleh negara. Pada dasarnya secara
normatif lembaga formal tersebut dibentuk oleh negara dalam upaya menjaga stabilitas
pengelolaan air irigasi. Namun terdapat pula motif politis, bahwa pelembagaan
pengelolaan air irigasi dalam hukum negara merupakan suatu prasyarat untuk
mendapatkan pinjaman dari luar negeri. Dengan demikian, keberadaan lembaga yang
dibentuk oleh pemerintah tersebut bukan didasarkan akan kebutuhan para petani,
melainkan karena adanya kepentingan negara terhadap suntikan dana asing.
Tesis ini mengangkat tiga permasalahan pokok, yaitu : (a) Bagaimanakah
pengelolaan air irigasi yang dilakukan oleh lembaga hukum adat dan hukum Negara?;
(b) Bagaimanakah pengaturan pengelolaan air untuk irigasi oleh hukum negara di Jawa
Timur sebagai upaya untuk meningkatkan agribisnis?; (c) Apakah konflik yang terjadi
dalam pengelolaan air irigasi serta solusi atas permasalahan tersebut dalam perundangundangan
?.
Tujuan dari penulisan tesis ini adalah untuk menelaah dan menganalisis
pengelolaan air irigasi yang dilakukan oleh lembaga hukum adat dan hukum negara.
Disamping itu untuk menelaah dan menganalisis fungsi HIPPA dalam pengelolaan dan
distribusi air untuk irigasi khususnya di Jawa Timur sebagai upaya untuk meningkatkan
agribisnis. Serta menelaah dan menganalisis konflik yang terjadi dalam pengelolaan air
irigasi serta solusi atas permasalahan tersebut berdasarkan hukum dan perundangundangan.
Pengelolaan air irigasi yang dilakukan oleh lembaga hukum adat dilakukan secara
turun-temurun. Dengan berpedoman kepada kearifan lokal tersebut merupakan nilainilai
yang turun temurun telah diikuti oleh beberapa generasi. Konflik yang terjadi dalam pengelolaan air irigasi timbul sebagai akibat adanya instrumen pemerintah yaitu
HIPPA sebagai pengelola baru. Pengaturan pengelolaan air irigasi yang dibuat
pemerintah lebih bersifat top down, sehingga tidak melihat aspek sosiologis yang telah
hidup di masyarakat dan tidak akomodatif terhadap norma-norma kearifan lokal yang
terlebih dahulu ada. Akibatnya terdapat interaksi antara instrumen hukum negara dan
hukum adat yang berujung pada konflik pengelolaan air irigasi, konflik tersebut berupa
pengelolaan cara pendistribusian air, kompensasi yang diberikan atas pengelolaan air,
dan pengangkatan kepala blok yang menggantikan fungsi ulu-ulu.
Pengaturan pengelolaan air untuk irigasi oleh hukum negara di Jawa Timur
dilakukan melalui Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur No 6 Tahun 2003 tentang
Irigasi, yang kemudian ditindak lanjuti oleh Peraturan Daerah pada masing-masing
Kabupaten/Kota di wilayah Jawa Timur. Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA)
merupakan kelembagaan yang secara formal diakui oleh Pemerintah Daerah Propinsi
Jawa Timur untuk melakukan pengelolaan pada bidang air irigasi. Kelembagaan formal
yang diberikan wewenang oleh hukum negara tidak bisa berkerja secara maksimal,
karena tidak memahami nilai lokal dan kebiasaan yang dianut oleh masyarakat.
Sehingga terjadi penurunan kualitas pelayanan dalam hal distribusi air irigasi, yang
kemudian memicu adanya konflik antara lembaga adat dan lembaga negara.
Solusi atas konflik lembaga adat dan lembaga negara dalam pengelolaan air irigasi
adalah sinergisasi antara dua kelembagaan tersebut. Hal ini dilakukan dengan
modernisasi hukum adat, yaitu mengakui eksistensi ulu-ulu sebagai instrumen adat yang
disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sedangkan pemerintah membuat lembaga
HIPPA pada daerah-daerah yang tidak memiliki hukum adat. Dapat pula pemerintah
mengadopsi pranata adat untuk menjadi petugas HIPPA dengan catatan tidak mengubah
norma-norma yang telah ada sebelumnya. | en_US |