ENGARUH POLA DISTRIBUSI SPASIAL SISTEM TANAM CABAI MERAH (Capsicum annum L.) DAN SELASIH (Ocimum basilicum Linn.) TERHADAP OVIPOSISI LALAT BUAH (Bactrocera sp.) DAN TINGKAT KERUSAKAN BUAH
Abstract
Cabai merah memiliki nilai ekonomi tinggi di pasaran. Permintaan akan
cabai merah terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara produksi cabai merah
di Indonesia masih tergolong rendah, yaitu 8,59 ton/ha. Rendahnya produksi cabai
merah tersebut diantaranya adalah disebabkan serangan hama dan penyakit, salah
satunya adalah hama lalat buah Bactrocera sp. Selama ini pengendalian
Bactrocera sp. dengan menggunakan bahan kimia, hal ini dapat menyebabkan
berbagai dampak negatif terhadap lingkungan. Sehingga diperlukan upaya
pengendalian hama terpadu. Salah satunya adalah dengan menggunakan tanaman
selasih yang berfungsi sebagai tanaman perangkap. Tanaman selasih
menghasilkan metil eugenol yang merupakan atraktan lalat buah (Prawoto, 2005).
Berkaitan dengan pemanfaatan selasih sebagai tanaman perangkap, maka tujuan
penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pola distribusi spasial sistem tanam
cabai merah dan tanaman selasih terhadap oviposisi Bactrocera sp., mengetahui
tingkat kerusakan buah pada tanaman cabai merah yaitu jumlah larva Bactrocera
sp. pada tanaman cabai merah setelah dilakukan pola distribusi spasial sistem
tanam antara cabai merah dan selasih.
Penelitian ini dilaksanakan di lahan Pertanian Agrotekno Park Universitas
Jember pada bulan April sampai Agustus 2010. Penelitian ini menggunakan
metode eksperimental dan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan
dan kontrol, dengan 3 kali pengulangan. Variabel bebas pola distribusi spasial
sistem tanam cabai merah dan selasih per perlakuan dengan serial jarak 20 cm, 30
cm, dan 40 cm, sedangkan sebagai kontrol dengan jarak 15 cm. Variabel terikat
berupa densitas buah cabai merah yang terinfeksi dan jumlah larva tiap buah yang
terinfeksi per perlakuan. Analisis data untuk mengetahui hubungan pengaruh
antara variabel bebas dan terikat dengan uji ANAVA dengan tingkat kepercayaan
95% (p<0,05), apabila terdapat perbedaan yang signifikan dari masing-masing
perlakuan dilanjutkan dengan uji LSD dengan tingkat kepercayaan 95%. Untuk
mengetahui besarnya pengaruh masing-masing perlakuan dapat dilakukan dengan
analisis regresi.
Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa pada
perlakuan P1 (20 cm) ulangan 1, 2, dan 3, cabai merah yang terinfeksi masingmasing
0,
0,
dan
1,
jumlah
larva
masing-masing
adalah
0,
0,
dan
25.
Perlakuan
P2
(30
cm)
ulangan
1,
2,
dan
3,
cabai
merah
yang
terinfeksi
masing-masing
0,
1,
dan
0, jumlah larva masing-masing adalah 0, 62, dan 0. Perlakuan P3 (40 cm) ulangan
1, 2, dan 3, cabai merah yang terinfeksi masing-masing 1, 1, dan 0. Jumlah larva
masing-masing adalah 39, 44, dan 0. Sedangkan untuk perlakuan kontrol (15 cm)
ulangan 1, 2, dan 3. Semua buah cabai merah terinfeksi, jumlah larva masingmasing
adalah
23,
67,
dan
57.
Berdasarkan analisis yang dilakukan, intensitas serangan pada perlakuan
P1 (20 cm) dan P2 (30 cm) yaitu sebesar 33%. Pada perlakuan P3 (40 cm) sebesar
67%, dan kontrol sebesar 100%. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan P1 dan P2
efektif terhadap densitas infeksi Bactrocera sp., sedangkan pada perlakuan P3 dan
kontrol tidak efektif terhadap densitas infeksi Bactrocera sp. lebih lanjut, dapat
dilihat melalui jumlah dan posisi spot pada buah cabai merah yang terinfeksi
Bactrocera sp. diketahui nilai batas efektif posisi pangkal, tengah, dan ujung
masing-masing sebesar 13,5%, 55,6%, dan 6,5%. Hal ini menunjukkan bahwa
perlakuan, yang memiliki nilai batas efektif paling tinggi adalah posisi bagian
tengah.
Tingkat kerusakan buah setelah diberikan perlakuan pola distribusi spasial
antar perlakuan P1, P2, P3, dan kontrol memiliki perbedaan pengaruh yang tidak
signifikan sebesar 0,33 (P>0,05). Dengan batas nilai efektif sebesar 6,5%.
Perlakuan P1 (20 cm) memiliki rerata sebesar 8,33. Perlakuan P2 (30 cm)
memiliki rerata sebesar 20,67. P3 (40 cm) dengan rerata sebesar 27,67. Secara
umum, tingkat kerusakan buah setelah diberikan perlakuan pola distribusi spasial
tertinggi terjadi pada perlakuan P3 (40 cm)