TERBENTUKNYA PEMAHAMAN INTERSUBJEKTIF TERHADAP KEMAJUAN CINA DI KAWASAN ASIA PASIFIK
Abstract
Dewasa ini, Cina telah tumbuh menjadi salah satu kekuatan baru di dalam peta perpolitikan dunia. Cina telah bertransformasi menjadi developed state, khususnya untuk kawasan Asia Pasifik. Indikatornya adalah angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yakni selalu berada di atas 8 % per tahun di setiap tahunnya. Dengan indikator tersebut, praktis Cina berada di posisi yang lebih unggul dari pada negara-negara Asia Pasifik lainnya. Selain itu, Cina juga membangun dan mengembangkan kekuatan militernya dengan bermodalkan pertumbuhan ekonominya yang mengagumkan tersebut. Fenomena yang menarik di tengah bangkitnya Cina ialah, ketika Cina telah tumbuh menjadi The Rising Dragon sejak awal dekade 1990-an hingga dewasa ini, negara-negara intra kawasan ternyata cenderung tidak merasa terancam terhadap Cina. Penulis berpendapat bahwa respon tersebut menarik, karena menurut paradigma neorealis yang telah diakui sebagai paradigma yang universal dan dapat menjelaskan hampir semua fenomena-fenomena hubungan internasional, ketika terdapat suatu negara yang memiliki power yang kuat maka negara-negara lainnya akan merasa terancam oleh negara tersebut, dan mereka berusaha untuk menjadi balancer demi meredusir perasaan terancamnya. Oleh karena itu, penulis mengambil tema ini sebagai tema untuk proyek tugas akhir penulis. Tujuan penulis ialah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, bahwa paradigma neorealis yang selama ini telah dianggap sebagai paradigma yang universal seharusnya mulai dipertanyakan kembali kebenarannya.
viii
Penelitian ini merupakan suatu penelitian kualitatif, di mana penulis berupaya untuk menganalisis transformasi persepsi negara-negara intra kawasan terhadap Cina di Era Mao Zedong dengan Cina di Era Deng Xiaoping. Bagaimana perubahan persepsi terhadap Cina tersebut nantinya akan sekaligus menjawab rumusan masalah penulis, yakni bagaimanakah terbentuknya pemahaman intersubjektif terhadap kemajuan Cina di kawasan Asia Pasifik. Di dalam menganalisis persepsi negara-negara intra kawasan, kesulitan utama penulis ialah terlalu banyaknya negara yang tinggal di kawasan tersebut. Oleh karena itu, penulis akan menggunakan teknik Sampling Purposif guna memilih beberapa negara saja sebagai sampel penelitian dengan berbasis pada pertimbangan isu keamanan. Negara-negara tersebut ialah Jepang, Korea Selatan, Indonesia, dan Australia. Adapun dalam upaya untuk menganalisis terbentuknya pemahaman intersubjektif terhadap kemajuan Cina, penulis menggunakan paradigma konstruktivis dari Nicholas Onuf. Berdasarkan pada paradigma tersebut, sikap negara-negara Asia Pasifik yang tidak memandang Cina sebagai musuh, dan tidak mempersepsikan kemajuannya sebagai ancaman tidak lain dibangun dari upaya pemerintah Cina dengan melakukan speech act sejak dipimpin oleh Deng Xiaoping. Ketika Deng Xiaoping berkuasa, inti dari politik luar negeri Cina pada saat itu ialah bagaimana menciptakan lingkungan yang strategis agar Cina berhasil mencapai modernisasi seperti negara-negara maju lainnya. Dalam upaya untuk meraih modernisasi, Cina tentu membutuhkan partner. Oleh karena itu, Deng Xiaoping berupaya agar Cina tidak lagi dipersepsikan sebagai lawan, melainkan kawan dengan melakukan speech act. Speech act tersebut tidak hanya dilakukan di era Deng Xiaoping, namun juga tetap dilanjutkan di era setelah Deng Xiaoping, yakni Jiang Zemin. Berbasis kepada speech act yang dilakukan secara terus menerus itulah, lalu pada akhirnya terbangun pemahaman intersubjektif terhadap kemajuan Cina di kawasan Asia Pasifik.